Kamis, 29 September 2011

NASION, CHARACTER BUILDING, DAN TEROR BOM

Apa sebenarnya yang hendak didirikan di atas bumi nusantara ini? Mendirikan sebuah Negara? Atau menumbuhkan suatu bangsa? Atau sekedar meredam pertikaian dan pertumpahan darah yang sudah terlanjur terjadi sejak berabad-abad silam?

Founding fathers kita selalu menyadari apa yang ingin mereka dirikan di atas bumi nusantara ini. Nasion. Itu yang selalu mereka cita-citakan. Mereka selalu berharap akan munculnya nasion yang berarti bersatunya seluruh elemen di nusantara ini yang secara sadar memang berbeda dari awalnya. Perbedaan-perbedaan itulah yang menyokong berdirinya Indonesia Raya.

Namun setelah institusi Negara berhasil didirikan sejak Proklamasi yang diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, pertikaian demi pertikaian sesama bangsa sendiri belum juga reda. Dalam bukunya berjudul Putri Cina, Sindhunata menyindirnya sebagai kutukan Sarameya, kutukan yang diterima bangsa ini sejak bangsa Jawa mulai berdiri. Sejak Medang Kamolang hingga Majapahit hingga Republik Indonesia darah anak bangsa selalu tumpah di negeri ini. Bahkan hingga berpuluh-puluh tahun setelah kemerdekaan republic tidak juga terbentuk yang namanya character dari nasion Indonesia. Republic ini meluncur begitu saja seperti tanpa grand design. Character building tidak berjalan. Taufik Ismail menyindir dalam puisinya Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.

Pergolakan-pergolakan yang terjadi di negeri ini selalu meninggalkan kesan yang mengerikan. Perkosaan dan penjarahan sudah menjadi menu utama. Revolusi dan perubahan adalah niscaya dalam perkembangan suatu Negara, namun cara-caranya adalah selalu bisa dijadikan tolok ukur ketinggian derajat suatu bangsa. Bangsa preman tentu menggunakan cara-cara kekerasan. Bangsa teroris tentu menggunakan cara-cara yang mengorbankan orang banyak. Bangsa yang berbudi tentu akan menggunakan cara-cara yang konstitusiponal dan rasional.

Semestinya memang bangsa yang merdeka tidak semata-mata meletakkan kejayaannya pada ujung senjata. Bangsa yang berkarakter tentu lebih mengutamakan ujung pena. Bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki tingkat pendidikan yang memadai. Bangsa yang maju juga memiliki budi pekerti yang tinggi. Tengoklah Jepang sekarang ini yang tengah dilanda bencana alam yang mengerikan. Namun kekuatan mental rakyatnya sekan berbicara pada dunia bahwa mereka mampu bangkit dari hempasan bencana. Dan jangan heran kalau tak satupun muncul berita dari sana tentang adanya penjarahan dan saling aniaya.

Konon anggaran pendidikan yang hanya berkisar pada angka 20% dari APBN republic ini tidak cukup membawa rakyatnya untuk berpikir maju. Semestinya ada investasi yang lebih tinggi bagi pendidikan ini karena pada dua puluh atau tiga puluh tahun mendatang di tangan generasi peneruslah cita-cita pendiri bangsa dilanjutkan. Pendidikan yang bukan hanya mengajarkan, namun pendidikan yang mampu membentuk bangsa ini menjadi bangsa yang berkarakter. Bangsa yang berkarakter tentu akan bangga dengan negaranya. Dan sudah barang tentu tak akan pernah risau bila ada Negara lain mengaku-aku kebudayaannya. Karena baginya kebudayaan bukanlah barang mati yang tidak mampu tumbuh.

Namun sekali lagi horror kembali terjadi di negeri ini. Buku yang semestinya menjadi jendela pengetahuan, tiba-tiba berubah menjadi makhluk mengerikan. Orang-orang jahat memasukkan bom ke dalam buku-buku itu. Tidak ada korban anak-anak memang. Tapi setidaknya berita tentang buku yang mampu membuat pembacanya celaka, tentu membawa rasa traumatic tersendiri. Kalau bangsa Jepang ingin dengan cepat melupakan horror bencana di negerinya, ternyata horror di Indonesia Raya tidak kunjung menuju akhir. Sampai kapan?@