Minggu, 04 September 2011

SATU LAGI OBROLAN DI HARI RAYA

Bersalam-salaman di hari raya itu sudah biasa. Bermaaf-maafan juga sudah lumrah. Kunjung-mengunjungi antar kerabat dan handai taulan juga sudah sewajarnya. Namun mencari bahan obrolan yang tidak biasa adalah hal yang tidak biasa dilakukan di hari raya. Umumnya orang akan mencari bahan obrolan yang cenderung kompromistis dan kalau bisa dibuat yang seseru mungkin dan dapat melibatkan lebih banyak orang terlibat dalam pembicaraan.

Yang terjadi dalam silaturahmi yang saya lakukan kali ini sungguh di luar dugaan. Hampir dari semua pihak yang saya kunjungi menceritakan tentang permasalahan yang mereka alami. Rata-rata masalah mereka tidak bisa dibilang ringan karena menyangkut hal-hal esensial dalam hidup. Masalah nafkah dan hubungan keluarga adalah masalah yang sangat dekat dengan kehidupan pribadi seseorang. Rumusnya biasanya mudah, tetapi handlingnya yang selalu sulit dilakukan dengan baik. Tidak jarang justru berakhir dengan kurang menyenangkan.

Tapi ternyata tidak semuanya harus begitu. Malam ini adalah malam terakhir saya berada di kampung halaman untuk berlebaran. Esok pagi saya harus berangkat lagi ke Jakarta. Sebelum mengakhiri malam ini, saya kedatangan tamu seorang kolega lama yang sudah tidak bertemu kurang lebih lima tahun. Berjam-jam kami bercerita tentang banyak hal, mulai dari politik, sosial, sistem pendidikan di Indonesia, pornografi, sampai dengan masalah keluarga. Yang membuat saya tertawa adalah ketika obrolan memasuki masalah keluarga, ternyata inti permasalahannya kurang lebih sama baik dengan diri saya maupun yang lainnya. Namun satu hal yang menurutnya perlu digarisbawahi, bahwa cara kita menyelesaikan masalah harus berbeda dari cara orang kebanyakan. Mengapa? Karena kita adalah orang-orang yang memiliki komitmen. Komitmen akan memunculkan pertanggungjawabannya sendiri. Dua sisi pertanggungjawabannya, sisi sosial dan sisi ilahiah.

Dalam banyak kasus kita bisa menyelesaikan permasalahan kita tampak beres dari sisi sosial. Tidak ada elemen sosial yang tercederai dengan keputusan kita. Atau bisa saja kita sedikit mengambil untung namun justru bisa diterima oleh lingkungan hanya karena mereka tidak mengerti hidden agenda yang kita miliki. Kalau demikian, dari sisi ilahiah nantinya tentu pertanggungjawabannya tidaklah ringan. akan datang masanya kita akan dinilai secara ilahiah akan keputusan yang kita ambil waktu itu.

Lain halnya kalau kita mengambil sudut pandang ilahiah dalam pengambilan keputusan, secara batin kita tidak akan merasa dihantui rasa bersalah, namun tidak jarang keputusan ini akan membawa ketidakpuasan dari sisi sosial. Karena memang matra sosial berbeda dengan matra ilahiah. Harus diyakini bahwa keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan ilahiah semestinya bisa diterima juga secara matra sosial.

Bukankah usia manusia selayaknya membuat mereka makin bijaksana dalam membuat keputusan? Ada saatnya pertimbangan-pertimbangan tidak hanya berdasarkan harmoni sosial belaka, karena pada akhirnya kelak manusia akan memasuki matra ilahiah jua.

Selamat berlibur bagi yang masih libur. Dan selamat kembali ke kota domisili bagi yang sudah habis masa liburnya. Salam.@