Kamis, 08 September 2011

PADA AKHIR SEBUAH MALAM

Malam hitam bagai biasanya. Pekat, gelap, berselimut angin dan titik-titik lembut embunnya. Manakah lebih kelam, hitam ataukah malam? Tatkala nurani manusia terombang-ambing menelusuri ke mana Sang Kebenaran beranjak pergi. Malam ini Tuhan mengutuk manusia yang mengukuhi dunia dengan keangkuhannya semata dan pembenarannya. Ketika malam tak lagi membawa kejujuran pada dirinya, dan malam tak lagi cukup menjadi sebuah waktu baginya untuk beristirahat barang sejenak buat mengenang sejengkal langkah dan konsep-konsep yang pernah terbetik dalam sanubarinya.
Tak ada lagi waktu buat mencari sedikit penerangan pada apa yang pernah terjadi. Memberi warna kelam pada yang bukan hitam. Dan memperhitam segala yang memang hitam.
Rona hitam menguasai kehidupan nurani manusia menjadikannya sulit membedakan esensi dan sensasi. Semua telah dilacurkan. Tapi apa mau dikata bila semua orang telah berikrar bersama-sama, sepakat menjadi pelacur.
Pelacur ada di mana-mana. Pelacur ada di lorong-lorong kota. Pelacur ada di tempat-tempat hiburan. Pelacur memasuki ruangan kantor, gedung wakil rakyat, sekolah-sekolah…..bahkan pelacur ada dalam hati manusia. Adakah kita memang ditakdirkan untuk menjadi pelacur?
“Tidak!” jerit bapak serta merta.
“Seorang bapak tidak akan pernah bercita-cita menjadikan anaknya seorang pelacur,” semburnya."
“Karena pelacur itu hina! Membuat anak menjadi pelacur adalah hina, itu mencoreng nama keluarga. Menjelekkan nama keluarga, durhaka pada bapak, membocorkan kebohongan-kebohongan bapak, semua sama saja hinanya!”
“Edan….”
Aku meratap memeluk setumpuk buku teori, tapi tak ada yang bisa menjawab kekalutanku. Semakin sulit mencari jawab. Semakin sukar membedakan batas boleh dan tidak, wajar dan tidak, apalagi waras dan tidak.
Hitam menguasai malam. Aku teringat akan sebuah cerita bapak perihal emas dan comberan.
“Lha yang namanya emas, biar masuk comberan pun tetap saja disebut emas,” welingnya waktu itu.
Sayang sekali bapak tidak pernah berpikir suatu saat emaspun ada yang berwarna hitam. Aku tak bisa membayangkan berapa banyak partai-partai, tentara-tentara, gerombolan-gerombolan, LSM-LSM yang harus dikerahkan untuk mencarinya. Padahal malam bertambah kelam, gelap bertambah pekat, semuanya menghitam…..
***
Kuputuskan pergi mencari tahu tentang cara membedakan hitam dan yang bukan hitam, karena kupikir bapak tidak akan pernah mau menjawabnya untukku. Aku ingin mendapatkan bapak yang lain untukku, yang tidak suka membentak, menampar, bahkan menekan saluran kencingku bila kau ingin buang air!
Pertama aku pergi menemui Sang Bima yang konon menurut cerita telah berhasil menemukan jati dirinya sendiri.
“Masuklah kau ke dalam telingamu hmmm……niscaya kau akan menemukan air suci kehidupan hmmm…..” katanya dengan suara menggelegar.
“Seperti itukah?” tanyaku heran. “Tuan kalau begitu aku tidak akan pernah bisa.”
“Mengapa tidak, hey…..?!”
“Kalau aku harus masuk ke dalam telingaku, itu artinya aku harus menjadikan diriku yang lain agar bisa kumasuki terlinganya. Maaf tuan, aku tidak erbiasa berbuat sperti itu.”
“Toh, nyatanya ingsun bisa hmm….?”
“Tuan kan hanya sebuah dongeng, makanya tuan bisa berbuat sekehendak hati.”
Akhirnya kutinggalkan ksatria jangkung dari amarta yang menurut penilaianku konyol itu. tapi ada yang lebih konyol lagi, pikiranku yang lain menyela. Orang-orang yang suka menganut paham dalam dongeng!
Yang kedua, aku sengaja berjalan agak jauh. Aku menemui seorang Churcill. Seorang Inggris bertubuh kecil. Sedikit berbeda dengan yang pertama kutemui.
Dia ramah. Dia membuka percakapan dengan kata-kata ‘My pleasure…’ tapi sebagai imbalan aku dimintanya memanggil dengan sebutan ‘Your Excellency’.
“You benar-benar mau tahu caranya?” tanyanya mencoba meyakinkan dirinya dengan suara sedikit sengau.
Aku mengangguk. Mantap saja.
“Kredonya sederhana saja….” katanya sambil mengisap cerutu.
“Apa itu Mister?” selaku tak sabar.
“Right or Wrong, my country!” lalu His Excellency tertawa lebar.
Aku mengangguk-angguk. Setuju sekali! Jawaban yang brilian! Ini yang aku cari-cari.
Tapi sebentar aku ragu-ragu lagi. Apa mungkin itu juga berhubungan dengan Matahari tidak pernah tenggelam di Inggris? ketika kutanyakan hal itu, Churcill tertawa kembali.
“Itulah sebuah nasionalisme yang baik, mampu memberikan nilai lebih pada bangsa lain. Coba, apa you bisa bayangkan bagaimana nasib bangsa-bangsa itu tanpa commonwealth?”
Aku berbalik meninggalkan orang yang sudah beranjak tua itu.
“Hey! Mau ke mana? Belum selesai bicaraku!” teriaknya tak mengerti.
“Tuan tidak jujur! Mister pasti menyembunyikan sesuatu!” kataku tak peduli.
Kuputuskan untuk pulang saja.
Di dalam perjalanan pulang aku mampir sebentar melihat-lihat keramaian di Guangzhou. Secara kebetulan pula aku betemu dengan sahabat lamaku di sana. Minimal aku sering membaca kisahnya semenjak dia tersingkir akibat “Revolusi Kebudayaan” yang diarsiteki oleh ketua Mao. Dialah Deng. Tiba-tiba muncul harapanku untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku darinya.
“Masih seperti yang dulu,” katanya kalem. ”Kerjakan apa yang mungkin dikerjakan.”
“Meski tidak konsisten? Anda telah merubah wajak sosialis bangsa anda dengan gincu kapitalis seperti ini,” sergahku.
“Haia…semua karena tuntutan jaman….”
“Anda Pragmatis”
“Pragmatis-Realis”
“Sama saja! Anda takut rakyat berubah menjadi kapitalis murni, makanya anda membuka sedikit pintu anda sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.”
***
Malam di berbagai dunia telah kujelajahi namun tak jua kudapati malam-malam yang terbebas dari belenggu kelam. Setelah sebelumnya mereka bangga dengan pemahaman mereka dengan warna gelap pada langit di atas kepala mereka di kala malam.
Aku terpekur menangis. Sepi. Sendiri dalam perasaan. Tak ada yang peduli pada langit, malam, gelap, dan hitam. Semua menuju satu arah. Kehancuran. Hingga tiba-tiba aku dikejutkan sebuah tawa yang ramah bersahabat. Terdengar menenteramkan jiwa gulanaku.
Akupun menoleh seraya tersenyum.
“Maukah kau mengikuti jalanku……?” tanyanya lembut padaku.
Dengan tergagap aku cepat-cepat mengangguk. Mengiyakan.
“Apa yang kau ketahui perihalku?” tanyanya.
“Tidak banyak, ya Habibie, Tuan Kekasihku. Tapi aku yakin perasaanku selalu merasakan kelembutan, meski kisah perjuangan Tuan penuh dengan derita dan percikan air mata, keringat, dan darah Tuan beserta pengikut-pengikut Tuan yang setia. Maha Benar dan Maha Besar yang membimbing Tuan Habibie.”
Orang itu kembali memandangku lalu mengusap-usap ubun-ubunku.
Dia tersenyum lagi.
Dalam.
Dan teduh.


(Yogyakarta, 19 April 1995)
Kata Habibie diambil dari kitab Al Barzanji yang biasa dibaca di kampung penulis setiap malam Jumat