Rabu, 14 September 2011

CERITA SORE SI METRO MINI

"Blok M...blok M...!" Kernet metro mini berteriak lantang. Mobil merambat di tengah kemacetan.
"Blok M....! Ayo neng naik aja daripada pacaran....?!" kernet terus mengoceh menawarkan jasa angkutannya. "Yaa...kok malah pacaran di pot?!"
Metro mini terus merambat pelan selagi ada peluang di tengah kemacetan.

Sepertinya kernet satu ini sudah mafhum benar dengan kondisi macet macam ini. Tapi dia terus mengoceh jurusan metro mininya. Kutaksir usianya tidak lebih dari umur anak sekolah menengah. Tapi siapa jamin dia akan mampu hadir di kelas? Maka jadilah dia bergelantung di pintu metro mini berteriak-teriak "blok M...blok M..."
Benar saja! Baru sebentar mulutnya diam, dia sudah berteriak lagi:
"Blok M...blok M....!"
"Lewat Depok gak bang?" tanya yang di trotoar sekenanya.
"Jangankan Depok, Malaysia aja kita lewat! Abang ini malah dari Italy...!" sambarnya sambil bergurau menunjuk ke salah satu penumpang. Yang ditunjuk cuma senyum-senyum. Begitulah suasana kemacetan, tidak mesti pula disikapi dengan kebuntuan.

Tak lama berselang, naiklah sepasang pengamen suami-istri.
"Jauh kau pergi...meninggalkan diriku..." Terdengar duet keduanya bersahut-sahutan. Akhirnya lagu selesai dan merekapun mengumpulkan uang recehan dari para penumpang.
"Sayang sekali ya... Punya istri cantik begitu, lakinya malas kerja..." celetuk kernet sekenanya.
Aku terkesiap kaget demi mendengar komentar si kernet. Di usianya yang belia itu dia memiliki pendapat bahwa mengamen bukanlah sejenis profesi. Dalam kaca mata sosiologi awam, antara buruh pabrik, sopir angkot, kernet, ojek, pengamen, adalah golongan marjinal. Namun anehnya si kernet yang nota bene termasuk dalam golongan itu, masih menganggap mengamen bukan termasuk pekerjaan.
Bagi kita yang masih memiliki sedikit ruang berpikir, mestinya terbetik satu pertanyaan: kebuntuan macam apa ini sehingga menggiring manusia menjalani profesi ojek, pengamen, dan bahkan pengemis sebagai penopang hidupnya? Ketiganya adalah cara mengumpulkan uang yang tidak berbasis keahlian apapun. Berbeda dengan pedagang lapak atau pecel lele. Meskipun usaha mereka adalah informal, tetapi masih ada manajemen sederhana yang mereka terapkan di sana. Jawabnya tentu tidak bisa selesai dalam sehari dua hari. Atau bahkan melalui kajian setahun dua tahun ke belakang. Rasanya yang lebih adil adalah mencari jalan keluar mengembalikan pemberdayaan si lemah dengan manajemen yang mereka mengerti.@