Jumat, 16 September 2011

TANAH YANG SAMA UDARA YANG SAMA


“Mosi-mosi…now I’m breathing the same air with you. I’m on your land. Wait for me…I mean…wait for my next call. OK? Bye!” Suara di ujung telepon terputus. Lalu yang terdengar hanya suara beep yang panjang…...

Namanya Arumi. Namanya saja yang berbau Jepang, tapi sebenarnya dia murni berdarah Jawa. Lima tahun terakhir ini tinggal di Tokyo. Dia memberitahuku beberapa tahun yang lalu waktu kebetulan bertemu di bandara. Katanya suaminya mendapatkan pekerjaan barunya di sana. Sekali aku pernah menanggapinya dengan setengah bercanda karena bagiku tinggal di luar negeri untuk ukuran orang kampungku sangatlah diluar kebiasaan.
Jadi aku bertanya dengan sedikit meremehkan: “Tokyo-nya RT berapa? Kelurahan apa?”
“Shibuya, kalau naik kereta turunlah di Shibuya…” jawabnya waktu itu sembari menuliskan sebuah alamat di atas kertas kecil warna putih. Pastinya itu alamat tempat tinggalnya di sana.
“Baiklah aku akan mampir kalau aku ke sana. Maaf lebih tepatnya, mampirlah kemari kalau kebetulan kau kembali ke Indonesia,” kataku.
“Tentu. Selalu ada waktu untukmu. Pasti aku mampir kalau kembali ke tanah air, asal kaupastikan istrimu tak di rumah pas aku datang….hahahaha…,” tanggapnya dengan nada bercanda.
Arumi bergegas membawa kopernya meninggalkan terminal pemberangkatan menuju pesawat. Setelah itu kami tidak pernah berhubungan lagi. Tak ada telepon ataupun email lagi darinya. Beberapa emailku juga tidak dibalasnya. Sebagian besar email-email itu berupa greeting seasons.
Tiba-tiba akhir minggu lalu dia menelponku.
“Mosi-mosi…Rio-san, aku akan ke Indonesia akhir minggu depan. Aku berencana seminggu di sini untuk menengok ibuku di kampong.”
“Di mana kau turun?”
“Jakarta lah!”
“Kalau begitu kau bisa singgah ke rumahku dulu?”aku mengharap.
“Entahlah, mungkin tidak sempat. Sudah ada mobil jemputan untuk kami dari kantor suamiku. Aku datang bersama suamiku, Rio-san?! Gomenasai, maaf ya…”Arumi menjelaskan.
“Tentu. Tentu saja kau harus datang bersama suamimu. Bukankah kau mau menjenguk orang tuamu? Mereka pasti suka kalau melihat kalian datang sekeluarga. Nah, aku yakin anak-anakmu juga ikut bersama kalian.”
“Iya. Rencananya anak-anakku akan ikut juga. Mimiko sudah mulai sekolah dan Taro sudah pintar menggambar. Andai kau bisa melihat mereka.”
“Andai saja….”aku melenguh pelan.
“Rio-san aku akan menelponmu kalau aku tiba di sana. Arrigato. Sumimasen. Bye!” Arumi menutup telepon.

*_*_*

Pagi masih menunjukkan pukul 08:30 tapi sinar matahari sudah terasa menyengat. Bahkan penghujung Maret pun belum usai, tapi hujan sudah mulai jarang turun. Aku merapikan tanaman dalam pot sambil sesekali mengelap peluh yang membanjir. Ketika itu telepon tiba-tiba berbunyi.
“Mosi-mosi… Rio-san, aku sudah sampai bandara. Aku senang sekali kembali ke tanah air. Nanti malam saja dari rumah, aku pasti menelponmu. Now I’m breathing the same air with you. I’m on your land. Wait for me…I mean…wait for my next call. OK? Bye!” Suara di ujung telepon terputus. Lalu yang terdengar hanya suara beep panjang.
Aku tertegun menerima panggilan telpon dari Arumi. Cepat sekali dia berbicara hingga tak satupun kata keluar dari mulutku. Menjawab salamnya pun aku tak sempat. Yah, akhirnya Arumi kembali ke tanah air. Janjinya nanti malam dia akan menelponku. Ada harapan, ada pula rasa senang mendengar dia berjanji akan menelpon lagi.
Tanah ini, tanah yang kupijak adalah sama dengan tanah yang sekarang dipijak Arumi. Artinya Arumi sekarang berada dekat sekali denganku. Tapi seberapa dekat? Tanah Jawa ini terbentang mulai dari Ujung Kulon hingga Banyuwangi. Sehingga dimanapun kita berdiri sebenarnya kita berada di tanah yang sama. Hanya karena perbedaan persepsi budaya saja, beberapa kerabat suku kita yang tidak menyebut keseluruhan strata geografis ini sebagai “Jawa”. Mereka lebih suka menyebut wilayah mereka sebagai Sunda ataupun Betawi.
Ataukah jangan-jangan Arumi sedekat tanah yang bergumpal di tanganku. Setiap hari kubuat gumpalan-gumpalan tanah dicampur sedikit pupuk untuk kemudian aku sumpal-sumpalkan ke dalam pot tanaman. Andai saja Arumi sedekat ini seperti tanah yang senantiasa menjabat tanganku, bersatu membuat gerakan-gerakan, sehingga tercipta pot-pot tanaman yang rapi dan subur untuk tempat tumbuh tanaman hias.
Sebentar lagi pasti Arumi akan menaiki mobil yang disediakan oleh kantor suaminya. Tentu saja lengkap beserta supirnya, dari bandara Soekarno-Hatta langsung menuju Pekalongan. Menurut beberapa cerita yang aku dengar, suami Arumi memiliki kedudukan yang cukup baik di tempat kerjanya, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor untuk pertambangan di lepas pantai. Aku membayangkan betapa gagahnya dia bekerja di antara “Rock Crusher” atau “Excavator” yang besar-besar. Tentu saja besar ukuran menurutku, belum tentu besar menurut ukuran Engineer. Apalagi kalau melihat foto yang pernah dikirim Arumi dua hari yang lalu, tampak suaminya berdiri di antara peralatan-peralatan bertuliskan huruf-huruf Jepang yang aku sendiri tidak tahu apa artinya.
Ibarat excavator di tanganku, kuaduk-aduk tanah dalam pot yang lebih besar dengan “korek” yang biasa kupakai untuk mengaduk tanah dengan pupuk atau menyendok tanah untuk dimasukkan ke dalam pot. Kuaduk-aduk supaya ada sedikit ruang di dalam tanah pot untuk udara bisa masuk. Bagaimanapun akar pohon juga butuh bernapas, sama dengan manusia. Tanpa pernapasan tidak akan ada kehidupan di atas tanah ini.
Agar bisa bernapas tentunya perlu adanya udara. Udara tersebar di mana-mana. Termasuk udara yang baru saja dilalui oleh Arumi dari Narita sampai Soekarno-Hatta. Udara tidak terlihat dan udara bisa ditembus. Udara berhembus dari Narita hingga ke Soekarno-Hatta. Udara bisa membawa berita kedatangan Arumi menuju tanah Jawa kelahirannya untuk menengok orang tuanya.
Udara menuju ke bawah menukik meresapi pori-pori tanah untuk kemudian meruap keluar membawa aroma tanah yang segar dan lembab. Pasti Arumi merasakannya sekarang. Udara yang membesarkannya selama ini sebelum meninggalkan tanah air.

*_*_*

“Hai Rio….kamu masih di situ?” suara Arumi di seberang telepon berderai renyah.
“Iya, aku masih di sini, setia mendengarkan kicauanmu di sana. Apa sih yang kamu kerjakan di pasar siang-siang seperti ini? Kan panas sekali, tahu?!” Rio menyahuti.
“Apa kamu bilang? Kicauan?! Hahaha….apa aku kedengaran seperti sedang berkicau?” Suaranya terdengar seperti sembari berjalan. “Kamu tahu Rio, di sini batik-batiknya bagus-bagus lho. Aku bisa bawa seberapa aku mau untuk souvenir teman-teman di Tokyo. Memang panas sih pasar ini, tapi apa boleh buat ini yang terbaik bisa kulakukan buat mengisi masa liburanku di sini. Kamu sendiri di mana sekarang?”
“Aku…..ada di taman di dekat kawasan Kuningan. Aku tiduran di bangku semen yang daun pohon di dekatnya paling rindang. Aku yakin kondisiku masih lebih baik darimu. Masih ada angin semilir dan yang tak kalah menariknya, ada pasangan sedang pacaran di bangku seberang,” jawabku.
“Hahaha….kau pikir apa yang kita lakukan sekarang? Pacaran juga kan?!” sergah Arumi.
“Maybe….I’m not sure. Yang jelas aku lari kesini agar istriku tidak tahu aku menelponmu.” Aku menjawab sekenanya.
“You’re a criminal Rio,” balas Arumi. “Ada saran untukku, apa yang bisa aku beli di pasar ini?”
“Apa sajalah yang kau lihat dan sukai.”
“Diplomatis. Seharusnya aku yang menjawab diplomatis. Kamu hanya tukang tanaman hias Rio, tidak semestinya berbicara diplomatis.
“Hahahaha…” kami tertawa bersama.
Arumi memang seorang staf diplomatic RI di Singapura, atau lebih tepatnya mantan staf diplomatic. Berbekal ijazah dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada, dia berhasil menjadi salah seorang staf diplomatic RI untuk Sinagpura. Namun sayangnya tidak berapa lama dirinya bekerja di sana, dia berhenti dan menikah dengan suaminya sekarang. Hanya dua tahun pekerjaan di kedubes ditinggalkan dan beralih menjadi ibu rumah tangga. Dan selanjutnya dua tahun sejak pernikahannya itu, suaminya pun pindah ke Jepang karena harus menempati salah satu posisi di head office Hitachi Equipment Co, Ltd.
“Yu, nanti ya? Saya belum beli apa-apa. Nanti kalau perlu saya pasti panggil kamu,” terdengar suara Arumi di seberang telpon.
“Bicara dengan siapa?” Aku bingung.
“Ini ada mbak-mbak menawarkan diri membawa barang belanjaan.”
“Bukankah kamu belum beli apa-apa?”
“Itulah aku bilang. Suruh tunggu aku beli dulu baru panggil dia, tapi ngotot terus ikut aku jalan keliling pasar”
“Hahaha….aku rasa dia bukan sekedar mau membawakan belanjaanmu. Tapi juga mau dengar pembicaraan telponmu….”
“Huh!” Arumi bersungut.
“Sudahlah, lebih baik kamu engage dulu mbak itu biar dia tidak kebingungan”
“Diam kamu Rio….!” Sungut Arumi. “Bu, saya ambil yang kotak empat set, yang tutupnya warna kuning dua, hijau dan merah. Semuanya berapa?” terdengar suara Arumi lamat-lamat. “Ini yu, kamu bawa ya? Kita muter sebelah sana belum dilihat. Belum capek kan?”
Aku membayangkan pasti si mbak terseok-seok mengiringkan Arumi berjalan memutari kios-kios tas batik dan tenun. Lama sekali suara telpon dibiarkan diam hanya sesekali terdengar suara Arumi sayup-sayup menawar, pasti Arumi sedang memutari semua kios dan berhenti di setiap kios untuk melihat-lihat. Ah celakalah mbak-mbak yang menenteng belanjaannya itu kelelahan.
Tiba-tiba terdengar suara Arumi, “Yu, mendingan duduk di tengah los sana sama semua barang. Kalau ngikuti saya terus seperti ini bisa pingsan. Saya kuat jalan.”
Arumi memang tak pernah berubah. Dibalik sikapnya yang terkesan angker atau lebih tepatnya tegas itu, sebenarnya hatinya lembut. Jauh lebih lembut dari wanita manapun yang pernah aku kenal.
Terdengar suara-suara :
“Wes yu, Yo turun!”
“Capek ya yu?”
“Dah biasa, buk.”
“Orang mana to?”
“Kedungwuni.”
“Nglaju?”
“Iya bu.”
“Kok jauh banget. Memangnya disana ndak ada pasar?”
“Ya ada bu. Tapi ndak seramai di sini.”
“Anakmu berapa yu?”
“Tiga bu. Sekarang yang sulung sedang UNAS.”
“Oh ya? Semoga lulus ya, yu. Semoga nantinya sukses dan kamu ndak jadi tukang gendong lagi. Amin”
“Sebelah sini, yu. Tadi aku suruh tukang becaknya nunggu dekat jembatan penyeberangan.”
“Ini upahmu yu.”
“Tapi bu….ini kebanyakan…..”
“Ndak apa-apa kamu ambil saja semua. Sisanya bisa buat bayar SPP anakmu toh?!”
“Matur nuwun bu…..matur nuwun….”

*_*_*

“Halo? Are you still there?” aku berhalo-halo.
“Iya, Rio. Aku mendengarmu” suara Arumi membalas.
“Bagaimana perasaanmu malam ini?”
“Capek sekali rasanya seharian berputar-putar di pasar. Apalagi mbak-mbak tadi ya? Pasti lebih capek dari aku. Sehari-hari dia mesti keliling pasar membawakan belanjaan orang.”
“Beruntunglah kamu.”
“Apa kau bilang, Rio bodoh?” sergah Arumi. “Kau pikir seberapa beruntung aku sekarang ini? Andai aku benar-benar beruntung seperti katamu tadi.”
“Tentu saja kau beruntung. Kau tak perlu kerja keras seperti mbak-mbak di pasar tadi siang. Penghasilan suamimu jauh dari cukup untuk membahagiakanmu, juga anak-anakmu.”
“Apa yang kau tahu tentang bahagia Rio bodoh?”
“Yaa….banyak uang, pasti bahagia lah!”
“Ah, pikiranmu naïf sekali, tukang tanaman. Uang dan semua fasilitas itu tidak menjamin orang akan bahagia. Secara materi mungkin aku lebih baik dari orang lain. Tapi yang kuperlukan bukan itu. Kalau tidak, kenapa juga aku harus mencari kamu lagi?”
“Entahlah.”
“Aku mencarimu bukan sekedar mencari pelarian. Kalau hanya untuk itu kenapa aku harus susah-payah memilih kamu yang sudah dimiliki orang lain. Bukan itu alasannya.”
Aku terdiam. Tak mampu memberi komentar apapun.
“Apa enaknya jika kau berada di tengah keluarga besar yang menuntut kamu selalu tersenyum kepada mereka. Mereka akan menyapamu dengan bahasa yang halus, lemah lembut. Sebaliknya kamupun wajib membalasnya dengan kesantunan lazimnya orang Jawa.”
“Hipokrit?”
“Exactly! Aku ingin mengatakan sesuatu yang aku tidak bisa katakan kepada mereka semua. Setiap bertemu mereka akan bercerita tentang leluhur kelaurga suamiku yang adi luhung. Kita sebagai pewaris trah mesti menjaganya dengan sebaik-baiknya. Kamu tahu, paman dari suamiku itu pejabat penting di Pekalongan sini.”
“Fuck off.”
“Betul, mudah bagimu berbicara seperti itu Rio. Tapi aku tidak bisa, mereka adalah bagian dari hidupku sekarang karena mereka adalah keluarga suamiku. Setiap saat aku dilayani dengan teramat baiknya. Aku tinggal memanggil “mbok” maka akan muncul di hadapanku dua orang yang setia melayani keperluanku.”
“Arumi”
“Hmmm…?”
“Bagaimana kalau aku tidak bisa menggantikan itu semua?”
“Aku tidak pernah memintamu menggantikan suamiku. Aku meminta dirimu. Dirimu ya dirimu.”
“Arumi. Aku rela kok melupakan kisah lama kita dulu. Asal kau bahagia dengan suamimu.”
“Rupanya kamu tidak mengerti juga Rio?”
“Arumi, aku ikhlas kau sekarang hidup berbahagia dengan suamimu dan anak-anakmu. Aku cukup puas dengan kehidupanku sekarang. Teruskanlah hidupmu bersama keluargamu.”
“Apa?! Bagaimana mungkin kau suruh aku menjalani sesuatu yang aku sendiri tidak berbahagia karenanya. Tega sekali kau Rio…..?”
Terdengar suara isak Arumi………