“Mosi-mosi…now
I’m breathing the same air with you. I’m on your land. Wait for me…I mean…wait
for my next call. OK? Bye!” Suara di ujung telepon terputus. Lalu yang
terdengar hanya suara beep yang panjang…...
Namanya
Arumi. Namanya saja yang berbau Jepang, tapi sebenarnya dia murni berdarah Jawa.
Lima tahun terakhir ini tinggal di Tokyo. Dia memberitahuku
beberapa tahun yang lalu waktu kebetulan bertemu di bandara. Katanya suaminya
mendapatkan pekerjaan barunya di sana.
Sekali aku pernah menanggapinya dengan setengah bercanda karena bagiku tinggal
di luar negeri untuk ukuran orang kampungku sangatlah diluar kebiasaan.
Jadi
aku bertanya dengan sedikit meremehkan: “Tokyo-nya RT berapa? Kelurahan apa?”
“Shibuya,
kalau naik kereta turunlah di Shibuya…” jawabnya waktu itu sembari menuliskan
sebuah alamat di atas kertas kecil warna putih. Pastinya itu alamat tempat
tinggalnya di sana.
“Tentu.
Selalu ada waktu untukmu. Pasti aku mampir kalau kembali ke tanah air, asal
kaupastikan istrimu tak di rumah pas aku datang….hahahaha…,” tanggapnya dengan
nada bercanda.
Arumi
bergegas membawa kopernya meninggalkan terminal pemberangkatan menuju pesawat.
Setelah itu kami tidak pernah berhubungan lagi. Tak ada telepon ataupun email
lagi darinya. Beberapa emailku juga tidak dibalasnya. Sebagian besar
email-email itu berupa greeting seasons.
Tiba-tiba
akhir minggu lalu dia menelponku.
“Mosi-mosi…Rio-san,
aku akan ke Indonesia
akhir minggu depan. Aku berencana seminggu di sini untuk menengok ibuku di
kampong.”
“Di
mana kau turun?”
“Jakarta lah!”
“Kalau
begitu kau bisa singgah ke rumahku dulu?”aku mengharap.
“Entahlah,
mungkin tidak sempat. Sudah ada mobil jemputan untuk kami dari kantor suamiku.
Aku datang bersama suamiku, Rio-san?! Gomenasai, maaf ya…”Arumi menjelaskan.
“Tentu.
Tentu saja kau harus datang bersama suamimu. Bukankah kau mau menjenguk orang
tuamu? Mereka pasti suka kalau melihat kalian datang sekeluarga. Nah, aku yakin
anak-anakmu juga ikut bersama kalian.”
“Iya.
Rencananya anak-anakku akan ikut juga. Mimiko sudah mulai sekolah dan Taro
sudah pintar menggambar. Andai kau bisa melihat mereka.”
“Andai
saja….”aku melenguh pelan.
“Rio-san
aku akan menelponmu kalau aku tiba di sana.
Arrigato. Sumimasen. Bye!” Arumi menutup telepon.
*_*_*
Pagi
masih menunjukkan pukul 08:30 tapi sinar matahari sudah terasa menyengat. Bahkan
penghujung Maret pun belum usai, tapi hujan sudah mulai jarang turun. Aku
merapikan tanaman dalam pot sambil sesekali mengelap peluh yang membanjir.
Ketika itu telepon tiba-tiba berbunyi.
“Mosi-mosi…
Rio-san, aku sudah sampai bandara. Aku senang sekali kembali ke tanah air. Nanti
malam saja dari rumah, aku pasti menelponmu. Now I’m breathing the same air
with you. I’m on your land. Wait for me…I mean…wait for my next call. OK? Bye!”
Suara di ujung telepon terputus. Lalu yang terdengar hanya suara beep panjang.
Aku
tertegun menerima panggilan telpon dari Arumi. Cepat sekali dia berbicara
hingga tak satupun kata keluar dari mulutku. Menjawab salamnya pun aku tak
sempat. Yah, akhirnya Arumi kembali ke tanah air. Janjinya nanti malam dia akan
menelponku. Ada
harapan, ada pula rasa senang mendengar dia berjanji akan menelpon lagi.
Tanah
ini, tanah yang kupijak adalah sama dengan tanah yang sekarang dipijak Arumi.
Artinya Arumi sekarang berada dekat sekali denganku. Tapi seberapa dekat? Tanah
Jawa ini terbentang mulai dari Ujung Kulon hingga Banyuwangi. Sehingga
dimanapun kita berdiri sebenarnya kita berada di tanah yang sama. Hanya karena
perbedaan persepsi budaya saja, beberapa kerabat suku kita yang tidak menyebut
keseluruhan strata geografis ini sebagai “Jawa”. Mereka lebih suka menyebut
wilayah mereka sebagai Sunda ataupun Betawi.
Ataukah
jangan-jangan Arumi sedekat tanah yang bergumpal di tanganku. Setiap hari
kubuat gumpalan-gumpalan tanah dicampur sedikit pupuk untuk kemudian aku
sumpal-sumpalkan ke dalam pot tanaman. Andai saja Arumi sedekat ini seperti
tanah yang senantiasa menjabat tanganku, bersatu membuat gerakan-gerakan,
sehingga tercipta pot-pot tanaman yang rapi dan subur untuk tempat tumbuh
tanaman hias.
Sebentar
lagi pasti Arumi akan menaiki mobil yang disediakan oleh kantor suaminya. Tentu
saja lengkap beserta supirnya, dari bandara Soekarno-Hatta langsung menuju
Pekalongan. Menurut beberapa cerita yang aku dengar, suami Arumi memiliki
kedudukan yang cukup baik di tempat kerjanya, sebuah perusahaan yang bergerak
di bidang kontraktor untuk pertambangan di lepas pantai. Aku membayangkan
betapa gagahnya dia bekerja di antara “Rock Crusher” atau “Excavator” yang
besar-besar. Tentu saja besar ukuran menurutku, belum tentu besar menurut
ukuran Engineer. Apalagi kalau melihat foto yang pernah dikirim Arumi dua hari
yang lalu, tampak suaminya berdiri di antara peralatan-peralatan bertuliskan
huruf-huruf Jepang yang aku sendiri tidak tahu apa artinya.
Ibarat
excavator di tanganku, kuaduk-aduk tanah dalam pot yang lebih besar dengan “korek”
yang biasa kupakai untuk mengaduk tanah dengan pupuk atau menyendok tanah untuk
dimasukkan ke dalam pot. Kuaduk-aduk supaya ada sedikit ruang di dalam tanah
pot untuk udara bisa masuk. Bagaimanapun akar pohon juga butuh bernapas, sama
dengan manusia. Tanpa pernapasan tidak akan ada kehidupan di atas tanah ini.
Agar
bisa bernapas tentunya perlu adanya udara. Udara tersebar di mana-mana.
Termasuk udara yang baru saja dilalui oleh Arumi dari Narita sampai
Soekarno-Hatta. Udara tidak terlihat dan udara bisa ditembus. Udara berhembus
dari Narita hingga ke Soekarno-Hatta. Udara bisa membawa berita kedatangan Arumi
menuju tanah Jawa kelahirannya untuk menengok orang tuanya.
Udara
menuju ke bawah menukik meresapi pori-pori tanah untuk kemudian meruap keluar
membawa aroma tanah yang segar dan lembab. Pasti Arumi merasakannya sekarang.
Udara yang membesarkannya selama ini sebelum meninggalkan tanah air.
*_*_*
“Hai
Rio….kamu masih di situ?” suara Arumi di seberang telepon berderai renyah.
“Iya,
aku masih di sini, setia mendengarkan kicauanmu di sana. Apa sih yang kamu kerjakan di pasar
siang-siang seperti ini? Kan
panas sekali, tahu?!” Rio menyahuti.
“Apa
kamu bilang? Kicauan?! Hahaha….apa aku kedengaran seperti sedang berkicau?”
Suaranya terdengar seperti sembari berjalan. “Kamu tahu Rio,
di sini batik-batiknya bagus-bagus lho. Aku bisa bawa seberapa aku mau untuk
souvenir teman-teman di Tokyo.
Memang panas sih pasar ini, tapi apa boleh buat ini yang terbaik bisa kulakukan
buat mengisi masa liburanku di sini. Kamu sendiri di mana sekarang?”
“Aku…..ada
di taman di dekat kawasan Kuningan. Aku tiduran di bangku semen yang daun pohon
di dekatnya paling rindang. Aku yakin kondisiku masih lebih baik darimu. Masih
ada angin semilir dan yang tak kalah menariknya, ada pasangan sedang pacaran di
bangku seberang,” jawabku.
“Hahaha….kau
pikir apa yang kita lakukan sekarang? Pacaran juga kan?!” sergah Arumi.
“Maybe….I’m
not sure. Yang jelas aku lari kesini agar istriku tidak tahu aku menelponmu.” Aku
menjawab sekenanya.
“You’re
a criminal Rio,” balas Arumi. “Ada saran untukku, apa
yang bisa aku beli di pasar ini?”
“Apa
sajalah yang kau lihat dan sukai.”
“Diplomatis.
Seharusnya aku yang menjawab diplomatis. Kamu hanya tukang tanaman hias Rio, tidak semestinya berbicara diplomatis.
“Hahahaha…”
kami tertawa bersama.
Arumi
memang seorang staf diplomatic RI di Singapura, atau lebih tepatnya mantan staf
diplomatic. Berbekal ijazah dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan
Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada, dia berhasil menjadi salah
seorang staf diplomatic RI untuk Sinagpura. Namun sayangnya tidak berapa lama
dirinya bekerja di sana,
dia berhenti dan menikah dengan suaminya sekarang. Hanya dua tahun pekerjaan di
kedubes ditinggalkan dan beralih menjadi ibu rumah tangga. Dan selanjutnya dua
tahun sejak pernikahannya itu, suaminya pun pindah ke Jepang karena harus
menempati salah satu posisi di head office Hitachi Equipment Co, Ltd.
“Yu,
nanti ya? Saya belum beli apa-apa. Nanti kalau perlu saya pasti panggil kamu,”
terdengar suara Arumi di seberang telpon.
“Bicara
dengan siapa?” Aku bingung.
“Ini
ada mbak-mbak menawarkan diri membawa barang belanjaan.”
“Bukankah
kamu belum beli apa-apa?”
“Itulah
aku bilang. Suruh tunggu aku beli dulu baru panggil dia, tapi ngotot terus ikut
aku jalan keliling pasar”
“Hahaha….aku
rasa dia bukan sekedar mau membawakan belanjaanmu. Tapi juga mau dengar
pembicaraan telponmu….”
“Huh!”
Arumi bersungut.
“Sudahlah,
lebih baik kamu engage dulu mbak itu biar dia tidak kebingungan”
“Diam
kamu Rio….!” Sungut Arumi. “Bu, saya ambil yang kotak empat set, yang tutupnya
warna kuning dua, hijau dan merah. Semuanya berapa?” terdengar suara Arumi
lamat-lamat. “Ini yu, kamu bawa ya? Kita muter sebelah sana belum dilihat. Belum capek kan?”
Aku
membayangkan pasti si mbak terseok-seok mengiringkan Arumi berjalan memutari
kios-kios tas batik dan tenun. Lama sekali suara telpon dibiarkan diam hanya
sesekali terdengar suara Arumi sayup-sayup menawar, pasti Arumi sedang memutari
semua kios dan berhenti di setiap kios untuk melihat-lihat. Ah celakalah
mbak-mbak yang menenteng belanjaannya itu kelelahan.
Tiba-tiba
terdengar suara Arumi, “Yu, mendingan duduk di tengah los sana sama semua barang. Kalau ngikuti saya
terus seperti ini bisa pingsan. Saya kuat jalan.”
Arumi
memang tak pernah berubah. Dibalik sikapnya yang terkesan angker atau lebih
tepatnya tegas itu, sebenarnya hatinya lembut. Jauh lebih lembut dari wanita
manapun yang pernah aku kenal.
Terdengar
suara-suara :
“Wes
yu, Yo turun!”
“Capek
ya yu?”
“Dah
biasa, buk.”
“Orang
mana to?”
“Kedungwuni.”
“Nglaju?”
“Iya
bu.”
“Kok
jauh banget. Memangnya disana ndak ada pasar?”
“Ya
ada bu. Tapi ndak seramai di sini.”
“Anakmu
berapa yu?”
“Tiga
bu. Sekarang yang sulung sedang UNAS.”
“Oh
ya? Semoga lulus ya, yu. Semoga nantinya sukses dan kamu ndak jadi tukang
gendong lagi. Amin”
“Sebelah
sini, yu. Tadi aku suruh tukang becaknya nunggu dekat jembatan penyeberangan.”
“Ini
upahmu yu.”
“Tapi
bu….ini kebanyakan…..”
“Ndak
apa-apa kamu ambil saja semua. Sisanya bisa buat bayar SPP anakmu toh?!”
“Matur
nuwun bu…..matur nuwun….”
*_*_*
“Halo?
Are you still there?” aku berhalo-halo.
“Iya,
Rio. Aku mendengarmu” suara Arumi membalas.
“Bagaimana
perasaanmu malam ini?”
“Capek
sekali rasanya seharian berputar-putar di pasar. Apalagi mbak-mbak tadi ya?
Pasti lebih capek dari aku. Sehari-hari dia mesti keliling pasar membawakan
belanjaan orang.”
“Beruntunglah
kamu.”
“Apa
kau bilang, Rio bodoh?” sergah Arumi. “Kau
pikir seberapa beruntung aku sekarang ini? Andai aku benar-benar beruntung
seperti katamu tadi.”
“Tentu
saja kau beruntung. Kau tak perlu kerja keras seperti mbak-mbak di pasar tadi
siang. Penghasilan suamimu jauh dari cukup untuk membahagiakanmu, juga
anak-anakmu.”
“Apa
yang kau tahu tentang bahagia Rio bodoh?”
“Yaa….banyak
uang, pasti bahagia lah!”
“Ah,
pikiranmu naïf sekali, tukang tanaman. Uang dan semua fasilitas itu tidak
menjamin orang akan bahagia. Secara materi mungkin aku lebih baik dari orang
lain. Tapi yang kuperlukan bukan itu. Kalau tidak, kenapa juga aku harus
mencari kamu lagi?”
“Entahlah.”
“Aku
mencarimu bukan sekedar mencari pelarian. Kalau hanya untuk itu kenapa aku
harus susah-payah memilih kamu yang sudah dimiliki orang lain. Bukan itu
alasannya.”
Aku
terdiam. Tak mampu memberi komentar apapun.
“Apa
enaknya jika kau berada di tengah keluarga besar yang menuntut kamu selalu
tersenyum kepada mereka. Mereka akan menyapamu dengan bahasa yang halus, lemah
lembut. Sebaliknya kamupun wajib membalasnya dengan kesantunan lazimnya orang
Jawa.”
“Hipokrit?”
“Exactly!
Aku ingin mengatakan sesuatu yang aku tidak bisa katakan kepada mereka semua.
Setiap bertemu mereka akan bercerita tentang leluhur kelaurga suamiku yang adi
luhung. Kita sebagai pewaris trah mesti menjaganya dengan sebaik-baiknya. Kamu
tahu, paman dari suamiku itu pejabat penting di Pekalongan sini.”
“Fuck
off.”
“Betul,
mudah bagimu berbicara seperti itu Rio. Tapi
aku tidak bisa, mereka adalah bagian dari hidupku sekarang karena mereka adalah
keluarga suamiku. Setiap saat aku dilayani dengan teramat baiknya. Aku tinggal
memanggil “mbok” maka akan muncul di hadapanku dua orang yang setia melayani
keperluanku.”
“Arumi”
“Hmmm…?”
“Bagaimana
kalau aku tidak bisa menggantikan itu semua?”
“Aku
tidak pernah memintamu menggantikan suamiku. Aku meminta dirimu. Dirimu ya dirimu.”
“Arumi.
Aku rela kok melupakan kisah lama kita dulu. Asal kau bahagia dengan suamimu.”
“Rupanya
kamu tidak mengerti juga Rio?”
“Arumi,
aku ikhlas kau sekarang hidup berbahagia dengan suamimu dan anak-anakmu. Aku
cukup puas dengan kehidupanku sekarang. Teruskanlah hidupmu bersama
keluargamu.”
“Apa?!
Bagaimana mungkin kau suruh aku menjalani sesuatu yang aku sendiri tidak
berbahagia karenanya. Tega sekali kau Rio…..?”
Terdengar
suara isak Arumi………