Jumat, 09 September 2011

BALADA SITU, BAWON, DAN POLITIK MONETER

Pernikahan Situ dan Bawon menurutku luar biasa. Bagaimana tidak? Dalam perkawinan mereka dikaruniai anak tujuh orang yang kesemuanya laki-laki. Anak pertama diberi nama Abdurahman. Jangan harap dia akan dipanggil dengan panggilan Gus Dur. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan Si Dur. Kalau dipanggil Si Dur baginya masih lebih beruntung karena tidak jarang orang malah memanggilnya ‘Carik mBuleng’. Berangsur-angsur anak kedua sampai ketujuh diberi nama Margus, Slamet, Suswanto, Tauhid, dan yang dua lagi saya lupa. Dari ketujuh itu hanya Suswanto yang berhasil menjadi pegawai, yang lainnya hanya sebatas buruh.
Dengan Si Dur-lah aku biasanya bermain. Kami bersekolah di komplek sekolahan yang sama meskipun SD kami berbeda. Pada masa itu hanya sebagian kecil murid sekolah yang pergi ke sekolah mengenakan sepatu. Termasuk Si Dur yang pergi ke sekolah bertelanjang kaki. Sepulang sekolah kami bermain di kebun rumah. Memetik buah-buahan yang ada di kebun. Aku selalu mengijinkan anak-anak lain memetik buah di kebun kecuali satu pohon yang aku tidak kasih ijin. Buah delima. Entah mengapa aku selalu tidak rela kalau orang lain ikut memetik buah delima di rumahku. Mungkin karena bentuk bijinya yang unik. Saat itu aku bisa saja merasa seperti memiliki pohon berbuah permata.
Selain buah-buahan di kebunku juga ada sayur-sayuran. Suatu ketika De Lewah ikut memetik daun ‘lengguk’ di kebunku. Oh iya saya belum bercerita tentang De Lewah ini. De Lewah resminya adalah nenek dari Si Dur. Tapi saya tidak tahu persis apa De Lewah ini nenek kandung atau bukan. Yang jelas penghuni rumah Situ dan Bawon paling tua adalah De Lewah. Mari kita lanjutkan ceritanya! Lengguk di keluargaku kurang disukai. Bahkan boleh dibilang kami tidak pernah memasak sayur lengguk. Lebih sering kami memasak sayur asem, sop wortel, atau bayem. Jadi kami memberikan semua lengguk kepada De Lewah ini. Sebagai tanda terima kasih dari keluarga Situ, saya diundang makan siang di rumah Si Dur dengan sayur lengguk. Saya pun makan di sana bersama Si Dur, Margus, Slamet dan adik-adiknya yang lain. Tiba-tiba saya merasakan rasa sayur yang aneh. Serasa ada yang kurang gitu. Ternyata Si Dur juga merasakan hal yang sama. Lantas De Lewah menyarankan kepada kami untuk menambahkan garam ke dalam piring nasi bercampur sayur lengguk kami. Naas bagi kami, garam yang kami tambahkan rupanya kebanyakan. Dan kami merasakan asin yang ‘lekak’. Kami pun muntah karena lekak…..
Di malam hari saya dan Si Dur sering bermain di pinggir jalan, di lapak Situ dan Bawon yang berjejer dengan lapak-lapak lain sepanjang trotoar emperan toko-toko Cina. Situ berjualan baju-baju dan kain batik. Mulai baju seragam sekolah, seragam pramuka, kaos sepak bola semua ada. Pada masa itu semua anak kecil sedang demam jersey timnas Argentina yang baru saja mengalahkan Belanda dalam final Piala Dunia. Tak terkecuali Si Dur juga memakai kaos strip biru-putih bertuliskan ‘Kempes’ di punggung. Dalam hati sebenarnya saya ingin juga punya kaos Argentina macam yang dipakai Si Dur. Tapi saya takut mengatakannya ke Bapak. Karena biasanya Bapak tidak akan mengijinkan saya mengenakan atribut-atribut ‘jalanan’. Alhasil setiap kali bermain di lapak Situ, saya selalu melirik-lirik kaos strip biru-putih yang digantung di display lapak sampai berkibar-kibar ditiup angin.
Situ terkenal sebagai orang yang taat ibadah dan rajin bekerja. Selain malam hari berdagang di trotoar, pagi hari sampai ashar akan berdagang lagi di los pasar. Meskipun secara fisik dia memiliki kekurangan dibanding orang lain namun dia selalu bersemangat dan pantang meminta belas kasihan. Kalau istilah jaman sekarang pasti mereka akan dibilang pasangan romantic. Situ, sang suami, bertubuh bungkuk pendek dengan punggung berpunuk kecil. Sedang Bawon, istrinya bertubuh tegap normal dan meskipun selalu berkain jarik kemana-mana selalu tampak sigap. Dan buktinya mereka bisa mencetak anak sampai tujuh.
Untuk urusan anak sampai tujuh ini juga bukannya tanpa sebab. Rupanya Situ, sang presiden rumah tangga, sangat menginginkan punya anak perempuan. Makanya setiap tahun dia rajin mencoba meskipun hasilnya selalu gagal. Ini adalah cerminan keyakinan dan semangatnya yang tinggi dalam hal yang lain.
Yang sekarang saya tidak habis pikir adalah, mengapa saat itu Situ begitu ngotot ingin memiliki anak perempuan. Dan sama sekali tidak menghiraukan jumlah anak-anak lelakinya yang terus bertambah dan akan diberi makan apa? Anehnya lagi semua anak-anaknya lulus sekolah dasar, kecuali Suswanto yang berhasil melanjutkan sampai jenjang sekolah menengah tingkat atas karena bantuan pamannya. Menurut saya ini prestasi yang luar biasa untuk ukuran saat itu. Situ dan keluarganya boleh saja miskin, tapi Situ tidak bodoh. Buktinya dia tetap mengupayakan semua anaknya bersekolah sampai tamat sekolah dasar. Apalagi setiap pagi melihatnya berjalan menuju ke pasar dengan wajah yang bersih (konon karena air wudhu yang selalu ia ambil setiap kali mau sholat). Sorenya selepas ashar dia pulang dari pasar sambil membawa bungkusan jajanan pasar untuk anak-anaknya. Sepertinya saat itu roda-roda terkecil sekalipun dari perekonomian negeri ini masih berputar.
Lihatlah bedanya dengan orang miskin saat ini. Semiskin-miskinnya jaman itu, Situ masih bisa berdagang baju dan kain batik. Berdagang tentu saja perlu ilmu tersendiri. Meskipun hasilnya tergantung dari jenis barang dagangan, namun ilmunya tetap saja ilmu sungguhan. Belakangan ketika orang mulai malas belajar ilmu berdagang, mulailah muncul pengamen. Lalu yang setengah pasrah pada nasib lebih memilih menjadi tukang ojek. Memang meski diakui ada banyak faktor yang mempengaruhinya, namun setidaknya dua hal tersebut mengindikasikan bahwa produksi mulai tidak bisa menyentuh poros bawah. Yang dijual Situ adalah produk local dengan pembeli local pula. Artinya disitu terjadi perputaran uang yang bisa dikonsumsi dan di-saving oleh kalangan masyarakat bawah itu sendiri. Berbeda dengan kondisi sekarang, barang-barang murah yang bisa dibeli oleh masyarakat bawah malahan produk impor dari Cina. Uang dari bawah malah tersedot keluar untuk impor.
Mestinya kita juga mengingatkan diri sendiri, bahwa founding fathers kita tidak menginginkan bangsa ini menjadi sejajar dengan bangsa lain hanya karena memakai produk yang sama mahalnya dengan bangsa-bangsa lain. Kalau bisa produksi sendiri mengapa tidak? (lihat Cina, Jepang, Korea). Kalau bisa mandiri mengapa tidak? Kalau saja harga diri bangsa dinilai dari nilai tukar mata uang dalam negeri dibandingkan dengan mata uang negara lain, maka boleh dikatakan isinya hanya pepesan kosong. Sekarang semuanya bergantung pada sector moneter saja, sedangkan sector riil-nya masih jauh tertinggal terseok-seok. Itu dari logika Situ.@