Sabtu, 17 September 2011

REBANA CINTA

Sayup-sayup terdengar suara rebana yang ditabuh perlahan-lahan. Pelan namun pasti. Seperti menyiratkan kerinduan. Kudengar suaranya di setiap tengah malam sambil menghirup asap rokok yang mengawan. Ritmenya yang lambat seperti sengaja diulur-ulur untuk mengukur kedalaman jiwa manusia yang masih eksis di tengah malam. Pelan dan tidak terputus hingga menjelang fajar tiba. Baru setelah suara adzan dari surau pertama berkumandang suara rebana itu terhenti untuk terdengar kembali esok tengah malam.

Esoknya tepat tengah malam saat surau memukul kentongan dua belas kali, kembali kutunggu suara rebana itu. Tidak terlalu jelas tapi cukup untuk didengar dari tempatku berdiri. Seperti sejak tiga bulan yang lalu, aku akan mendengarkannya baik-baik dari balkon yang menghadap ke taman depan rumah dengan ditemani asap dari batangan kretek sembari mencari-cari syair yang tepat untuknya.

Pernah kucoba mencari asal bunyi rebana itu dan akan kukatakan pada penabuhnya kalau aku sangat terkesan pada ritme yang dibawakannya. Semuanya terasa mengundang. Alunannya seperti orang yang merintihkan nama kekasih yang tidak kunjung dijumpai. Meski tujuh turunan telah ditempuh, tujuh samudera telah diseberangi, tujuh mata air telah diminum, dan mandi di tujuh air terjun., namun rasa itu tak terpuaskan. Hingga akhirnya orang terduduk dan mengangguk-angguk melafalkan cintanya. Tidak juga kutemukan asal suaranya.

“Wahai malaikat manakah yang menabuh rebana itu? Kemarilah! Aku ingin mendengarkan suara rebanamu lebih dekat. Sudah kucari kamu tapi aku tak mendapatkanmu. Kemarilah!” teriakku.

Suara itu tetap tak berubah. Dia tidak terpengaruh. Mungkin terlalu jauh jaraknya dari tempatku ini. Penasaran. Kuulangi lagi teriakanku memanggilnya. Aku kehabisan akal.

“Bangsaaa…tt! Kesin-….” Tiba-tiba sebuah tamparan menerpa wajahku hingga aku terjerembab. Pingsan.

* * *

Ketika aku siuman matahari telah naik sepenggalahan. Sebentar aku mengerjap-kerjapkan mata. Silau sekali sinar matahari pagi ini. Seekor burung pipit terbang melintas sambil meninggalkan kotoran di jidatku. Aku menyumpah. Beranjak dari balkon sambil membersihkan kotoran di dahi.

Kuraba-raba rahangku yang sakit akibat tamparan semalam. Tubuhku pun terasa pegal-pegal. Melangkah ke kulkas, kuambil sebotol bir dingin, kubuka dan kutenggak sedikit. Rasa pusing agak berkurang.

Sepanjang hari kuhabiskan waktu memikirkan cara menemui sumber suara rebana itu. Tapi kenapa aku ditampar? Siapa yang menamparku? Kalau aku ditampar seseorang, mestinya dia tidak terlalu jauh jaraknya dariku. Tapi kenapa aku tidak melihatnya? Mungkinkah aku ditampar karena memakinya? Pertanyaan-pertanyaan mendera batok kepalaku. Mestinya aku bisa menemukannya kalau dia benar-benar di dekatku.

Kupikirkan kembali iramanya yang mengambang penuh rahasia. Semuanya menggambarkan hati yang rawan karena rasa rindu. Segalanya bermuara pada rasa cinta penabuhnya sendiri. Mungkinkah aku tidak sanggup melihatnya karena aku tidak memiliki cinta lagi? Ataukah sifat-sifatku tidak lagi memiliki kelembutan dan kejujuran?

Mana mungkin? Aku toh, seorang seniman. Bahkan sejak lahirpun aku sudah menjadi seniman. Aku sangat peka dengan sekitarku. Orang-orang itulah yang tidak punya perasaan lagi, aku yang mengingatkannya. Orang-orang itu yang semena-mena, aku yang meluruskannya. Orang-orang itu menggusur seenaknya, membangun sesukanya setelah itu merubuhkan apa yang telah ada sebelumnya. Mereka mengangkangi istri-istri orang semau-maunya., melindungi bisnis anak-anak mereka, menyumbat saluran kencing orang-orang lemah. Mereka pula yang asyik memutar-mutar kincir angin kekuasaan para dewa. Sekali lagi aku yang membukakan mata mereka.

Di saat orang-orang tertutup oleh nafsu-nafsu mereka, aku harus tetap terjaga. Saat nilai-nilai kebenaran mulai dilacurkan aku harus menunjukkan kebenaran yang sejati. Aku harus selalu yakin kalau aku memang benar. Aku mengingatkan kebenaran memang masih ada dan harus tetap ada. Keberadaanku di sini tidak dapat dinafikan begitu saja. Aku adalah perlu sebagaimana sebuah lilin di tengah gelap. Orang-orang memerlukanku agar mereka mampu mengontrol langkah mereka. Meski tak jarang sesudah itu aku dibiarkan tergolek lesu sendiri di tepi jalan raya kehidupan.

Kutenggak lagi satu tenggakan terakhir dari botol bir yang kedua. Aku tak mampu lagi merumuskan bujukanku padanya nanti malam. Kepalaku kembali pusing. Aku tertidur. Dalam tidur aku bermimpi mulutku tiba-tiba membesar, membicarakan sesuatu yang tidak jelas, lalau tanpa dapat kukendalikan mulutku mulai memakan orang-orang kurus kering berbaju kumal.

* * *

Tengah malam tepat di tengah balkon yang menghadap ke taman depan rumah aku menyimak kembali suara rebana cinta. Masih tetap pelan dan mendayu-dayu melantunkan kesunyian.

“Tuan, aku mendengarmu lagi. Tampakkanlah dirimu…..”kataku pelan setengah berbisik.

Suara itu tetap pelan dan jauh. Tak ada suara selain bunyi rebana.

“Tuan, maafkan aku. Aku takkan pernah sanggup menyusun syair-syair untuk lagumu. Aku pun tahu, aku takkan bisa melihatmu memainkan rebanamu itu. Sekarang aku hanya ingin menikmatinya.”

Irama rebana berubah sedikit cepat dan seperti terdengar senandung lirih di antara bunyi rebana.

“Biar. Biarlah Tuan Pemain Rebana tidak menampakkan diri karena aku tidak lagi dapat mengikuti denyut rasa cinta seperti yang Tuan miliki. Denyut cintaku melemah, mata hatiku tertutup oleh arogansi yang mengerak di dasar hati.”

Suara senandung bertambah keras seperti berdengung. Ritme rebana bertambah cepat.

“Aku sombong! Penjual kemiskinan! Aku tidak punya hati nurani…..”

Aku berlutut. Menangis.

“Cinta yang kaunyanyikan telah membuka mataku, Tuan…!”

Aku berlutut. Menangis.

“Arakku tak menyelamatkanku. Katakan pada kekasihmu, Tuan. Beri aku arak yang lain! Sirami aku….. beri…sirami….ak-k-k-…..”

Hujan datang mengguyur. Tubuhku basah, tapi aku merasa senang, airnya dingin menyelusup di antara pori-pori kulit terus mengalir bersama darah ke jantung. Kusucikan diriku dalam hujan.

Aku berdiri dan melangkah menuju Sang Khalik. Kulihat ke belakang, nampak seseorang berpakaian serba putih memainkan biji tasbih. Benturannya seperti suara rebana.

Ini sembahyangku yang pertama sejak umurku menginjak empat puluh……@

Yogyakarta, 5 Juli 1996