Selasa, 13 September 2011

TOPENG MONYET MENANTANG JAMAN

Tang tung tang tung…musik gamelan sederhana bergelung di lorong kampung di hari libur. Anak-anak berlari mengerubungi Topeng Monyet berkeliling dari kampung ke kampung. Hiburan sederhana yang tidak pernah memuaskan hati anak-anak pun di jaman moderen seperti ini. Rombongan terus berjalan menyusuri jalanan kampung meski sejak puluhan tahun telah berlalu.
Hoaa haaa haaa….anak-anak bersorak gembira menonton adegan monyet meski berulang kali tak bosan-bosannya. Hampir menyerupai ritual yang terus-menerus dilakukan si monyet, namun setiap kali itu pula masih berarti kejutan bagi anak-anak. Sebenarnya mana yang lebih seru, monyet yang berguling-guling ataukah anak-anak yang berlarian berpindah-pindah posisi menontonnya? Hoaaa….ketakutan yang juga berarti kesenangan dunia kanak-kanak.
Namanya saja topeng, namun tidak berarti seluruh adegan berisi Tari Topeng seperti yang dikenal dalam kultur Betawi. Atau seperti yang di wilayah lain dikenal dengan nama Ledhek Munyuk. Di daerah asal saya diberi nama Ronggeng Kethek. Beberapa adegan si monyet masih mengenakan topeng, beberapa lagi mengenakan helm, mengenakan caping petani, menaiki sepeda motor mini, sampai adegan sembahyang. Saya jadi berpikir tidakkah lebih baik dilakukan nasionalisasi atraksi monyet ini dengan nama baru, Akrobat Monyet? Sehingga eksplorasi gerakan monyet semakin tidak terbatas.
Sesiapapun yang mendengar ada atraksi yang dilakukan antara manusia dan binatang, seringkali berasosiasi dengan tokoh komik semacam Si Buta dari Goa Hantu. Manusia yang bersahabat dengan seekor monyet kemanapun ia pergi. Hubungan antara keduanya adalah ikatan batin lintas kelas makhluk hidup. Namun tidak demikian romantisme dalam topeng monyet. Dewasa ini topeng monyet telah dikelola dengan teori kapitalisme sederhana. Pengedar topeng monyet tidak harus memiliki monyet beserta perlengkapannya sendiri. Ada orang lain yang khusus menyediakan monyet, melatih, dan menyediakan perlengkapan pertunjukan. Pengedar tinggal membawanya berkeliling dengan system sewa dengan pemilik. Persis seperti yang biasa dilakukan pada pedagang bakso, bubur ayam, dan makanan cepat saji lainnya.
Dan pada akhirnya inilah pertunjukan oleh seekor monyet yang berguling-guling di tanah menghibur penontonnya. Yang dilatih oleh tangan-tangan kaum marjinal yang juga harus bertahan berguling-guling dengan roda jaman. Mereka tidak meminta fasilitas apapun dari penguasa. Mereka memilih bertahan di garis pinggir peradaban berharap rejeki dari kerabat pinggiran. Menjadi miskin bukanlah pilihan, namun menjadi miskin bukan berarti menjadi cengeng.@