Kamis, 15 September 2011

MENCARI NUK

Reda. Redalah tangis ibuku setelah aku berjanji mencari Nuk yang tak terdengar lagi kabarnya. Nuk pergi satu tahun yang lalu dari desaku setelah menolak dikawinkan oleh ibuku dengan juragan rismill. Bisa dimengerti alasan Nuk waktu itu. Nuk tidak menyukainya! Memang. Jaman bahkan sudah merdeka. Menurut beberapa orang tetangga kami, Nuk terlalu cantik buat juragan yang selalu tampak kikuk itu.
Kalaupun akhirnya Nuk pergi dari rumah tentulah bukan salah ibu semata. Ibuku sama sekali tidak melarangnya ketika itu. hanya saja Nuk tidak pernah lagi menyampaikan kabarnya sesampai Jakarta. Kalaupun ke Jakarta, itupun menurut pesan terakhirnya sebelum berangkat. Selanjutnya apakah Nuk benar-benar ke Jakarta atau ke tempat lain tak seorangpun yang tahu pasti.
Sekarang ibuku seperti orang yang sedang menanggung beban berat yang tiada putusnya. Ibuku – sedikit – menyesali kepergian Nuk. Ibu memikirkannya sepanjang tahun. Lebih dari kesedihannya ketika ditinggal bapak dulu yang meninggal karena tertindih truk yang sedang diperbaikinya akibat dongkrak
yang bergeser. Dan pada akhir tahun pertama kepergian Nuk ini, kondisi ibu semakin menyedihkan. Ibu merasa mulai beranjak mendekati sekarat. Beliau menginginkan Nuk ada di dekatnya kelak bila saatnya tiba. Dan itu berarti aku harus menemukan Nuk secepatnya seperti permintaan ibu. Aku harus segera berangkat.
                                                                                * * *
Pertama, kucari Nuk ke gedung Dewan Perwakilan Partai. Mengapa ke sana? Aku sendiri tidak tahu. Aku sendiri tidak tahu. Aku tidak punya ide harus kucari kemana. Jadi kuputuskan masuk saja ke sana. Tapi tak juga kutemukan Nuk di dalamnya. Yang ada hanyalah sekumpulan orang yang berdebat perlu tidaknya negeri ini dikembalikan sebagai kerajaan bukan republic sebagaimana sekarang ini. Entah siapa yang memulai usul gila semacam itu. Apakah mereka sudah bosan dengan republic ini? Ataukah hanya sekedar pelepas ketegangan dari masalah-masalah yang selalu gagal mereka selesaikan? Anehnya, di setiap barisan kursi paling belakang lingkaran itu kulihat orang-orang tidur dengan pulasnya. Mereka asyik bermimpi. Mimpi andai mereka yang jadi raja, seperti pentas wayang orang yang sering mereka tonton, atau jangan-jangan mereka malah bermimpi menjadi wayang?
Ah, masa bodohlah! Aku masih banyak kerjaan. Daripada melihati mereka seharian, kuputuskan mencari Nuk ke tempat lain saja. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sempit, ke stasiun kereta, terminal-terminal, namun tak juga Nuk kutemukan di sana. Aku nyaris putus asa!
Semua jalan telah kucoba tapi Nuk tak juga kutemukan. Bahkan menurut saran beberapa orang yang baik hati ketika aku mampir makan di warung, aku harus memasang iklan di koran. Setelah kucoba ternyata itupun tak membawa hasil. Nuk tak kunjung mendatangiku.malah akhirnya wajahku yang tampil di halaman muka koran-koran itu disertai headline: “Setahun Berkeliaran Mencari Saudara” atau “Setahun Menggembel, Tak Juga Berjumpa Saudara”, dan sebagainya.
Tak terasa setahun pula wajahku menghiasi sampul-sampul koran itu. Sepanjang jalan orang-orang mulai mengenaliku. Mereka meneriakiku. Ada yang menawariku sedikit makanan, tapi kutampik. Anak-anak kecil berlarian mengikuti langkahku dari belakang. Mereka bernyanyi, berteriak-teriak, membuat bunyi-bunyian yang riuh-rendah. Semakin kuusir mereka, semakin menjadi gelaknya, membuat aku mengkal saja. Mereka baru bubar setelah ibu-ibu mereka berteriak-teriak memanggil pulang.
Tidak waraskah aku? Tak sengaja kupandangi pakaianku yang mulai lusuh dengan robek-robek sedikit di sana-sini. Pantas saja anak-anak itu mengira aku kurang waras. Ah, tak apalah namanya juga anak-anak, batinku. Mana tahu mereka kalau aku sekarang ini sedang mengemban tugas berat dari ibuku. Orang yang kucintai. Kuhormati. Aku bertekad bulat menemukan Nuk di Jakarta ini meski sepuluh dua puluh tahun harus kujalani. Tapi bagaimana ya keadaan ibu sekarang? Tak usah kupikirkan hal itu. ibuku terlalu kuat untuk mati sebelum melihatku menggendong pulang Nuk.
Olala! Capek juga ternyata mencari Nuk tanpa informasi yang jelas seperti ini. Mungkin sama capeknya dengan mencarikedewasaan berpikir dan menjadi manusia yang kompleks. Bisa-bisa jemu di tengah jalan. Meragu. Menguap. Bahkan mulai mengantuk seperti aku sekarang ini. Badanku penat dan linu-linu. Padahal dalam hati aku masih ingin meneruskan pencarian ini. Aku masih ingin berjalan lagi barangkali ada Nuk di sela-sela manusia urban. Atau mungkin dia ada di antara bunyi bedug ashar yang bertalu. Bisa saja dia ada di mulut sebuah botol arak berbau pengak! Semuanya mungkin karena aku tak dapat menyimpulkan. Aku hanya bisa meraba. Meraba-raba sambil berusaha membuka mata sedikit mencari bungkusan kain yang kubawa untuk kujadikan bantal tidur di bawah pohon asam kranji yang rindang.
Tak lama tidurku di bawah pohon asam itu karena setengah jam kemudian aku sudah dikejutkan suara ramai orang-orang di perkampungan rumah kardus tepat di bawah tempatku tidur. Dengan jelas aku dapat menyaksikannya, tanah tempatku berpijak lebih tinggi. Sekelompok penghuni perkampungan kardus berteriak-teriak menghadapi aparat keamanan. Sebuah penggusuran rupanya. Aku turun ke perkampungan itu. Barangkali lebih jelas persoalannya kalau aku turun, pikirku.
Tuhan! Bukankah? Bukankah itu Nuk?! Ya, mataku tak mungkin mengelabuhiku. Orang yang paling depan yang berteriak-teriak menentang petugas keamanan itu pasti Nuk. Kupukul tanpa sengaja kepalaku sendiri. Bodoh sekali. Kenapa tak pernah terpikir olehku mencari Nuk di tempat seperti ini. Tempat orang-orang lemah yang tak berdaya menghadapi persaingan karena tidak memiliki faktor produksi apapun. Hari-hari yang mereka lewati dipenuhi dengan rasa cemas sambil berharap ajal segera datang, karena setelah itu mereka dapat memulai kehidupan baru lagi di sebuah tempat yang terbebas dari ruang dan waktu, yang membebaskan mereka dari kungkungan kekuasaan. Mereka tahu di balik kehidupan ini, ada sebuah kehidupan lagi yang menjanjikan. Itu yang mereka tahu. Dan Nuk selalu tak lepas dari orang-orang ini.
“Bersama mereka membuat aku tak pernah lupa kalau aku hanya hamba Tuhan yang lemah juga…” begitu Nuk berkata padaku suatu kali di kampong dulu.
Rupanya Nuk masih setia dengan kata-katanya dulu. Dia rentangan tangan menahan laju petugas yang membawa tameng. Satu-dua kali tubuhnya terkena ayunan tongkat petugas. Rambutnya mulai kusut-masai. Nuk makin beringas dan orang pun ikut beringas. Tapi apalah Nuk. Nuk tak mampu bertahan lebih lama. Dia terjatuh. Sebuah sepatu dengan kaki yang berat terasa menindih perutnya. Menyesakkan napas. Kaki-kaki berseliweran di perut, muka, dan mata. Membuatnya tak mampu lagi membuka mata. Yang tampak hanya warna hitam dan yang berpendar menyilaukan.
Aku tak bisa membiarkannya. Kuhampiri tempat Nuk. Kupukul petugas yang berdiri pongah di samping Nuk. Aku berteriak sambil mengamuk sejadi-jadinya. Ada yang kucakar mukanya. Kugigit telinganya. Aku tak mau berhenti, meski tak tahu siapa sebenarnya yang kubela. Orang-orang kecil ini atau Nuk yang terluka? Tak sempat kupikirkan lebih lama, yang pasti aku senang Nuk telah kutemukan. Sambil mengamuk aku berkali-kali teriak: “Kutemukan Nuk…! Kutemukan Nuk…!”
Seorang petugas menghampiriku dari depan, tapi lekas-lekas kutonjok mukanya dan darahpun mengucur dari mulutnya. Tiba-tiba kurasakan sebuah benda keras mendera tengkukku. Tak sempat aku mengelak sebab gelap keburu menguasai kepalaku. Akupun roboh diiringi pekik tertahan, “ Ibuuu…!!”
Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Nuk pun tak pernah kutemukan kembali. Yang kulakukan sekarang hanyalah berjalan sepanjang jalan bersama anak-anak yang bernyanyi riuh-rendah mengiringiku “Heii! Bocahe teko… Heii! Pakak-no asu…!”
“Ibu, sudah kutemukan Nuk……!” bisikku lirih.@