Sabtu, 03 September 2011

SANG KYAI - SEBUAH CERITA DI HARI RAYA

Sudah beberapa tahun terakhir ini mudik tidaklah terlalu menarik lagi bagiku. Ada beberapa alasan mengenainya. Yang paling utama adalah karena sudah tidak adanya lagi ibu kandungku. Biasanya ibu kandung adalah tujuan utama anak-anaknya kembali. Namun ketika ibu kandung sudah tiada, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: kalau mudik, mudik kepada siapa? Kepada apa? Galau sekali hatiku bila memikirkan hal itu.

Lantas orang bisa saja berkata, meskipun tidak ada lagi ibu, tentunya masih ada bapak. Tentu saja bapak masih ada. Bukan hanya bapak, ibu sambung juga tersedia. Tentu tidaklah sama antara ibu kandung dengan ibu sambung. Apalagi kalau ibu sambung yang sungguh tidak nyambung. Istilah lamanya "tulalit". Atau istilah anakku yang masih lima tahun "lola" alias loadingnya lama. Makin membuatku malas untuk pulang mudik saja.

Alasan yang ketiga, bahwa aku selalu sedih memandang wajah masyarakat kampungku yang semakin hari taraf kehidupannya tidak semakin baik. Dulunya satu kampung berisi belasan keluarga yang kesemuanya memiliki hubungan darah persaudaraan. Namun sekarang satu per satu pemilik rumah telah berganti, begitu pula dengan pemilik lamanya entah pada pergi ke mana. Dahulu sekali ketika aku masih kecil aku pernah bercita-cita memiliki uang yang banyak. Kalau aku sedang menemui saudara-saudaraku itu aku akan membagikan masing-masing kepada mereka satu koper berisi uang kertas. Sayangnya sampai saat inipun aku belum pernah melihat uang sekoper apalagi membagikannya. Andai saja waktu kuliah dulu aku ambil jurusan Robin Hood.

Namun ternyata masih ada yang tersisa untuk dijadikan alasan mudik. Entah kenapa tahun ini jalanku dimudahkan untuk mudik. Dan tanpa disengaja hari raya jatuh pada hari jumat. Dan kalau hari raya di hari jumat artinya selesai jumatan akan ada salam-salaman para jamaah sholat jumat di masjid dekat rumahku. Dan itu berarti aku akan bisa bertemu dan mencium tangan Sang Kyai.

Sudah menjadi tradisi di kampungku untuk memanggil seorang ulama dengan sebutan yang dihormati. Mereka memanggilnya Kyai. Kalau hanya seorang guru mengaji atau pengajar di madrasah, hanya disebut sebagai ustadz. Jadi di mata masyarakat kampungku, Kyai sangatlah dijunjung tinggi dan dihormati. Dalam setiap pertemuan dengan Kyai tak segan-segan orang akan mencium punggung tangannya sebagai penghormatan atas ilmu yang dimiliki. Tetapi serta merta Kyai akan menarik tangannya agar tidak dicium sebagai tanda kerendahan hatinya.

Begitu pula dengan Kyai yang satu ini. Pertama kali aku mengenalnya, dia masih sangat muda. Aku ingin mencium tangannya, dia menariknya. Kuulangi lagi dalam beberapa kesempatan berikutnya, dan dia masih melakukan hal yang sama. Saking penasarannya aku perhatikan bagaimana cara supaya bisa mencium tangannya. Ah, akhirnya aku tahu! Kyai itu hanya mau dicium tangannya oleh para santrinya. Kepada masyarakat umum dia tidak bersedia. Akhirnya pada suatu kesempatan sholat jumat, aku membaur ke dalam barisan para santrinya. Ketika tiba giliranku bersalaman, buru-buru kuraih dan kucium tangannya. Dan sekilas tampak Kyai itu kaget tatkala menyadari aku bukan salah satu dari santrinya. Apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur....

Bagiku sendiri, tidaklah penting apakah aku pernah benar-benar menjadi santrinya atau tidak. Tetapi pernah ada satu momen dalam hidupku di mana aku bersinggungan sangat dekat dengannya. Meskipun aku mengaji di pesantrennya setiap ba'da maghrib, tapi bukan itu masalahnya. Ada sesuatu yang sulit digambarkan betapa eratnya hubungan kami. Ibarat kekasih, kami bisa saling memahami dan merasakan perasaan masing-masing meskipun tanpa ucapan cinta. Dan itu terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang lalu.

Di suatu sore aku datang menemuinya seorang diri. Tanpa tahu bagaimana protokoler di pesantren, aku meminta untuk bertemu dengannya untuk membicarakan nasibku di masa depan. Dan pertanyaan yang pertama keluar dari mulutnya adalah: siapa ibumu? Plasss! Tidak pernah kubayangkan sebelumnya pertanyaan ini yang akan muncul. Umumnya orang akan bertanya, siapa nama, dari mana, ada perlu apa. Tapi ini justru ditanyakan siapa ibuku. Kenapa ibuku? Kenapa bukan bapakku? Sampai saat ini aku tidak tahu jawabannya. Mungkin lain kesempatan akan kutanyakan padanya tentang hal ini.

Setelah kuceritakan sedikit latar belakangku, dia berbicara seolah-olah mengerti semua yang berkecamuk di dalam benakku. Beberapa hal yang kuingat waktu itu dia berkata, yang dibutuhkan oleh seorang wanita adalah laki-laki yang mampu menjadi pelindung. Jangan kuatir dengan putus cinta, aku sendiri pernah pacaran sampai dua puluh tujuh kali. Tapi sadarilah selalu bahwa pacaran itu adalah hal yang maksiat, karenanya jagalah perbuatanmu dan perbanyak istighfar. Lalu Kyai juga menyatakan pendapatnya mengenai pilihan kuliahku. Katanya waktu itu, kalau aku boleh menyarankan sebaiknya kamu pilih ke Jogja daripada ke Semarang. Kamu akan lebih berkembang di sana. Dan aku menuruti kata-katanya. Maka berangkatlah aku ke Jogja. Dan ternyata, pilihannya benar belaka....

Setelah aku bekerja yang kupikirkan dari gaji pertamaku adalah menyumbangkannya ke pondok pesantren. Maka kupilih pondok pesantren Sang Kyai karena aku merasa pernah berhutang budi kepadanya. Setelah kusisihkan sebagian untuk bekal hidupku sampai gajian berikutnya, seluruh sisanya kusumbangkan ke pondok pesantrennya. Dan Kyai hanya tersenyum menerima uluran uangku. Tidak membuka isi amplopnya. Juga tidak mengatakan wejangan apa-apa.

Dan kali ini ketika kami bertemu lagi di hari jumat di hari raya, aku tidak perlu berlaku licik lagi hanya untuk mencium tangannya. Kusapa dia di pintu masjid, Ustadz assalamu'alaikum. Dia tersenyum membalas salamku. Tidak dia hiraukan orang-orang yang terkejut waktu aku memanggilnya Ustadz. Tidak juga aku. Dia memandangku dengan tatapan yang lembut. Berbeda dengan tatapannya sewaktu kami pertama bertemu. Senyumnya lebar mengembang setiap menyambut kerlingan mataku. Kuceritakan pertemuanku yang tanpa sengaja dengan beberapa teman lamanya. Mungkin sewaktu di Lirboyo, sahutnya. Berulang kali dia manggut-manggut mendengar ceritaku.

Lalu tanpa sengaja kupandangi tubuhnya. Masih seperti dulu. Tubuh yang mengandung energi dan semangat. Putih, gemuk, bersih dan berseri-seri. Iseng-iseng kutanyakan berapa umurnya sekarang. Dijawabnya, lima puluh lima. Mungkin sebentar lagi, kelakarnya.

Mampirlah ke rumah, tawarnya sembari tersenyum. Insya Allah, Ustadz. Insya Allah.... Dalam hati aku berjanji untuk mampir ke rumahnya. Karena dia bukan hanya Kyai bagiku melainkan Ustadz, guru yang sebenarnya bagi hidupku. Dan mungkin aku bukan hanya akan mampir karena aku masih punya satu keinginan lagi. Aku tidak mengerti ilmu agama. Tapi aku mengerti sedikit ilmu di luar ilmu agama. Di masa pensiunku kelak aku ingin menyumbangkannya untuk kolega-kolega saya di pesantren dengan tulus ikhlas. Apabila mereka bersedia.....@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar