Kamis, 25 Agustus 2011

HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS PART 1: SIHIR ITU HARUS PINTAR…!

Sihir tidak hanya monopoli bangsa Eropa. Sihir ada di berbagai belahan dunia, terbentang mulai dari Afrika hingga Asia dan Amerika. Dan salah satu bagian terpenting dari sihir adalah mantra. Mantra bisa merubah sesuatu menjadi sesuai keinginan si penyihir. Lantas sihir menjadi begitu kuat memiliki daya tarik hingga bermunculan karya-karya yang berlatar belakang cerita sihir.

Ada yang menarik dari cerita-cerita sihir modern dari Eropa, selain mengetengahkan mantra, ternyata mereka tidak memujanya. Sehingga karya-karya sastra Eropa mampu menghindari kesan ‘klenik’ yang masih banyak dijumpai dalam karya-karya Afrika dan Asia (baca: Indonesia).
Dalam karya-karya pengarang Eropa lainnya, sebut saja nama Michael Scott dalam buku-bukunya ia menolak untuk dikatakan sihir itu sebagai klenik. Ia bahkan menyebutnya sebagai ilmu pengetahuan. Sehingga ahli sihir pada jaman itu disebut pula sebagai Alchemist, yang mampu merubah logam menjadi emas dengan suatu reaksi kimia tertentu, yang di kemudian hari disebut sebagai sihir. Bahkan ia mengatakan, sihir adalah perkara imajinasi. Siapa lebih bisa berimajinasi dialah yang lebih hebat.

Lalu di akhir 1990-an muncullah satu nama pengarang baru yang mengangkat tema sihir modern. Dialah JK Rowling dengan Harry Potter-nya. Seorang wanita yang membebaskan tokohnya yang ahli sihir dari prasangka klenik. Dari ketujuh seri bukunya begitu detail dan yakin ia membuat cerita dan garis hidup para tokohnya. Sehingga tak hanya sukses sebagai buku sastra, begitu pula dengan filmnya.

Tanpa terasa penikmat film telah memasuki bagian akhir dari kisah Harry Potter (Daniel Redcliffe). Khusus untuk seri ketujuh ini dibuat dalam dua film. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau film ini hanya dibuat dalam satu bagian saja. Tentu sensasinya akan terasa kurang, terutama bagi pecinta Harry Potter yang telah mengikutinya sejak film pertama Harry Potter and The Sorcerer’s Stone.

Sejak awal film dimulai sudah langsung terasa aroma sihir yang begitu kuat menguasai peradaban dunia. Para penyihir jahat telah berhasil menguasai kementrian sihir. Dan para Muggle (manusia biasa) ibarat barang yang tidak berharga dan harus disingkirkan. Begitulah yang terjadi ketika hegemoni sihir menguasai peradaban. Sehingga banyak manusia biasa terpaksa mengungsi meninggalkan daerah konflik antara Harry Potter dkk melawan Voldemort – You Know Who.

Sejak awal kita tahu bahwa Harry Potter adalah orang yang terpilih untuk bisa mengalahkan hegemoni penyihir jahat. Tapi kita tidak pernah diberikan petunjuk oleh Rowling mengapa Harry menjadi The Chosen One. Tentu saja bukan sekedar ia telah selamat sewaktu masih bayi dari sihir Voldemort sendiri.

Di film ini, semua rahasia itu dibuka satu persatu. Penonton seperti menjalani kembali romantisme masa lalu sejak Harry masih kecil dititipkan pada pamannya, Harry muda yang memainkan Quidditch pertama kali, hingga Harry menjadi musuh besar bagi Voldemort. Inipun kalau kita menganggap bahwa nature sihir adalah kegelapan itu sendiri.

Ketegangan dibangun sejak awal bagaimana Harry dan Voldemort saling berusaha secepat mungkin memecahkan kelemahan lawannya masing-masing. Waktu tidak bisa menunggu, atau lawan sudah terlanjur kuat. Perburuan Harry Potter oleh para pengikut Voldemort dilakukan di mana-mana. Dan Harry beserta kedua sahabat sejatinya Hermione dan Ron berusaha keras memecahkan teka-teki ketujuh pecahan nyawa Voldemort yang tersimpan dalam Horcrux yang berbeda-beda.

Setelah dalam seri sebelumnya The Half Blood Prince, Harry Potter banyak berpetualang bersama Dumbledore sang guru, kali ini Harry kembali beraksi bersama kawan-kawan sejatinya. Diakui atau tidak, perempuan memiliki peranan yang sangat penting. Bahkan menjadi kunci. Keberhasilan Harry memecahkan teka-teki tidak lepas dari planning yang matang dari seorang Hermione (Emma Watson). Begitu juga kepolosan hati Ron (Rupert Grint) tidak jarang justru menyelamatkan Harry di saat-saat kritis.

Bagi anda yang telah menonton film-film Harry sebelumnya, sebaiknya jangan kaget apabila film seri terakhir ini begitu istimewa digarap oleh sang sutradara David Yates. Lebih serius baik dari gaya narasi, karakter tokoh, maupun muatan-muatan yang ada dalam film. Gaya bahasanya pun tertata sangat baik, khas sastra Eropa. JK Rowling tidak mengingkari janjinya bahwa Harry Potter bukanlah kisah untuk anak-anak semata. Sejak awal ia menciptanya tidak pernah terbetik untuk menjadikannya cerita anak, meskipun tokohnya masih anak-anak waktu itu.

Selain itu banyak tata nilai yang ditabrak oleh Rowling dalam kisah ini, misalnya saja bagaimana mungkin Hermione yang cantik dan pintar seperti malaikat justru jatuh cinta pada Ron yang serba gagap dan lambat. Tapi inilah logika cinta yang ditawarkan oleh Rowling, bahwa cinta tak perlu selalu romantis dan tidak perlu pula logis. Cinta bisa saja ada pada saat ia harus ada.

Namun pesan terbesarnya adalah: hati-hatilah dengan hegemoni kekuasaan yang besar dan tanpa budi baik, karena vandalism dan genocide menunggu di akhir acara…..@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar