Senin, 17 Desember 2012

CEMBURU BUDAYA

Cemburu pada budaya bangsa yang lain sehingga akhirnya bersikap apatis terhadap budaya orang lain tersebut adalah ciri-ciri bangsa yang tidak kreatif. Dalam era keterbukaan seperti sekarang ini sebuah budaya akan merangsek dengan cepat ke seluruh penjuru dunia bak virus. Tidak ada barrier apa-apa lagi. Bahkan tidak jarang budaya asing tersebut langsung berbaur dengan nilai-nilai budaya lokal.

Umumnya budaya yang mampu mempengaruhi secara global adalah budaya yang didukung oleh konsep dan industri yang kuat. Semisal munculnya tablet dan smartphone yang pada awalnya dimotori oleh Apple, Samsung, RIM, mendidik penggunanya untuk mengikuti nilai-nilai yang dianut oleh teknologi mereka. Hingga akhirnya malah sudah menjadi gaya hidup manusia di jaman ini.

Contoh lainnya adalah K-POP yang awalnya berasal dari Korea Selatan. Ternyata kehadirannya bisa diterima hampir di seluruh dunia. Bahkan dilakukan audisi di berbagai negara, sebelum akhirnya dilakukan putaran final kontes K-POP di Korea Selatan. Apa yang salah dengan budaya lokal? Tidak ada yang salah. Hanya saja kehadiran K-POP memberikan kepercayaan diri bagi anak-anak muda itu untuk mengaktualisasikan dirinya. Dari yang semula rendah diri dan minder, melalui K-POP mereka diberikan kesempatan menunjukkan eksistensinya. Tak peduli anak muda di Rusia, Kanada, ataupun Amerika Latin tanpa ragu-ragu mengadopsi bahasa dan budaya Korea juga.

Bagaimana dengan bangsa yang tidak mampu mengkemas budayanya? Bagaimana kalau bangsa Indonesia tidak mampu mengindustrialisasikan budayanya? Jangan salah, budaya itu bukan barang mati yang sudah tidak berkembang. Selayaknya budaya itu terus berkembang. Atau justru kita sendiri yang membonsai budaya kita sendiri dengan berkilah budaya harus anti-industri, budaya untuk budaya.

Jadi ya begitu. Wajar saja dan jangan manyun kalau kita tidak mampu mengindustrialisikan budaya sehingga kita kelimpungan ketika negara jiran kita mengaku-aku Batik, Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, Wayang sampai Keris adalah milik mereka. Karena mereka yang lebih dulu mengemas dalam packaging industri. Atau dengan bangga setiap hari jumat mengenakan batik yang merupakan identitas bangsa namun di kerah lehernya terpampang 'made in china'.

Beberapa ini beberapa hal yang mungkin bisa kita pikirkan bagaimana mengindustrialisasikan budayanya:

Pertama, kenapa pejabat-pejabat itu pada senam gangnam style bukannya senam jathilan saja? Kayak tidak punya budaya lokal yang berbau rodeo saja? Memang betul, gaya keduanya sama-sama gaya naik kuda. Tapi bedanya yang satu harus pakai kesurupan dulu. Bisakah kita ciptakan jathilan yang bisa entertaining dan bisa dilakukan oleh orang biasa?

Kedua, tidak kurang menjijikkannya bekicot bagi orang Indonesia. Bahkan bekicot ini masuk dalam daftar makanan haram untuk dimakan. Namun bekicot yang dikemas di Prancis dengan nama Escargot ini menjadi makanan yang digemari di sana. Di Indonesia ada juga makanan yang berbau siput-siputan begini, namanya keong-nenek atau keong-kroco. Bisakah keong-nenek atau keong-kroco ini dijual ke orang Prancis? Apakah orang Prancis percaya keong-nenek atau keong-kroco ini cukup higienis untuk dikonsumsi?

Ketiga, pada saat kita berniat memperkenalkan masakan asli Indonesia, mesti diperhatikan juga masalah kebersihan tempat makan dan cara masaknya. Misalnya sate, kadang bagi sebagian orang menimbulkan keraguan akan kebersihannya. Atau karena ingin menunjukkan ketradisionalannya, makanan dilandasi dengan daun pisang. Bagi sebagian orang mungkin akan mempertanyakan kebersihannya.

Keempat, orang Inggris memiliki budaya minum teh setiap sore. Orang Jepang memiliki ritual yang unik dalam meminum teh. Orang Italy meskipun bukan produsen kopi, tapi mereka yang menemukan kenikmatan menikmati kopi. Hal-hal seperti ini lah yang mesti digali dari Indonesia. Jangan sampai orang mengenal Indonesia yang orang-orangnya minum teh dan kopinya sebesar gelas bir.....@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar