Amarah Nyai Calonarang tidak
tertahankan demi mendengar putrinya Ratna
Manggali ditolak oleh orang-orang desa Girah. Tidak seorang pemuda pun
dari desa Girah yang bersedia melamar putri satu-satunya itu. Ini suatu
pelecehan. Dan ini tidak bisa dibiarkan!
Maka Nyai Calonarang mulai
merapal mantranya, mengirim kutukan ke desa:
“Teluuhhh…! Mlayuo ngalor –
ngetan – ngidul – ngulon…! Biar mereka tahu siapa yang berkuasa di sini?!”
Sejak itu pageblug mulai melanda
desa Girah, hingga jauh sampai ke seluruh negeri Daha….
***
Aku meringkuk dan makin
merapatkan diri ke tubuh Mak.
“Aku takut, Mak…”
“Bagaimana kalau pageblug Nyai
Calonarang sampai kemari, Mak?”
“Tidak akan Lup. Tidak ada
pageblug yang pernah sampai ke sini. Pageblug bisa saja melanda desa-desa lain,
tapi yang sampai di desa kita hanya sebatas ceritanya saja.”
“Tenanglah Lup… tidur saja…”
“Tapi apa benar pageblug tidak
pernah sampai ke desa kita, Mak?”
“Benar.”
“Bahkan suatu saat, ketika
suasana negeri menjadi kacau dan banyak orang berbaju merah yang dibunuhi,
itupun tidak sampai di desa kita Lup. Tidak ada pembunuhan di desa ini.”
“Benarkah? Yang lain lagi ada,
Mak?”
“Banyak, Lup. Ketika itu Kiai
Sepuh hendak lengser, suasana negeri juga kacau, banyak orang tidak bisa makan.
Itupun tidak sampai ke sini, Lup. Kita tetap bisa makan singkong dan minum air
putih seperti biasanya.”
“Bahkan setelah Kiai Sepuh
lengser, banyak mahasiswa ditembaki dan toko-toko dijarah, itupun tidak sampai
ke sini, Lup.”
“Benar ya, Mak?”
“Benar, Lup.”
“Terus, siapa yang bisa
mengalahkan teluh Nyai Calonarang, Mak? Apa semua penduduk desa akhirnya mati?”
“Ada, Lup…. Ada!”
Tersebutlah seorang Empu Baradah
yang sakti yang bersedia menandingi Nyai Calonarang dengan teluhnya.
Ditantangnya Nyai Calonarang keluar dari rumahnya. Nyai Calonarang berang. Dia
terima tantangan sang Empu.
Sejatinya kesaktian Empu Baradah masih
di bawah kesaktian Nyai Calonarang. Namun Empu percaya dengan niat tulusnya dan
kebersihan hatinya yang akan sanggup mengalahkan teluh lawannya. Diam-diam Empu
Baradah menyimpan sebuah cermin kecil di dalam jubah putihnya.
Ketika Nyai
melemparkan teluh ke arah Empu Baradah, dia berkelit dan secepat kilat
mengeluarkan cermin kecil untuk menangkis serangan Nyai. Terlihat cahaya biru
memantul dari balik jubah Empu Baradah deras mengarah ke tubuh Nyai. Dan Nyai
Calonarang pun jatuh terhempas ke tanah. Pageblug pun sirna, seketika sirna
pula Nyai Calonarang….
***
Cogito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada. Dua orang mahasiswa
yang suka berpikir kritis sedang sibuk membahas menurut cara pandang mereka
sendiri. Maka berdebatlah mereka sepanjang malam mengenai tragedy kemanusiaan
kali ini apakah kutukan Tuhan ataukah wabah yang akan sirna dengan sendirinya.
Seperti yang lalu-lalu. Sebentar lagi juga akan ditemukan vaksinnya, obatnya,
dan seterusnya. Sebagaimana strategi bisnis pada umumnya.
Kali ini situasinya berbeda.
Pageblug ini punya nama Covid-19. Orang lain menyebutnya juga sebagai SARS
N-COV2. Apapun namanya itu, tapi sepak terjangnya sangat dahsyat. Hanya dalam
kurun waktu 3 bulan, hampir seluruh belahan dunia terimbas virus ini.
“Aku tidak setuju, Lup. Ini bukan
wabah seperti kebanyakannya. Bukan AIDS yang bisa dihindari asalkan tidak
melakukan hubungan seksual atau bertukar jarum suntik. Pengidap HIV saja masih
bisa tinggal serumah dengan anggota keluarganya yang lain. Ini beda, Lup.
Kalian tidak bisa bertemu dengan keluarga kalian sekali terkena kutukan ini.”
Yang diajak bicara
mengangguk-angguk antara berpikir dan menikmati rokok kreteknya.
Tarjo melanjutkan: “Kalau
menurutku Lup, kita sekarang sedang berada dalam masa hukuman. Tuhan menghukum
kita karena dosa-dosa yang terlanjur berkarat dan membuat bopeng di mana-mana.
Ingatkah dirimu ketika manusia dihukum dalam kisah Perahu Nuh karena
menyangsikan kekuasaan Tuhan. Atau manusia dijungkirbalikkan ke dalam bumi
bersama hasrat homoseksualitasnya.”
Dikisahkan karena perasaan
kecewanya yang sudah tak tertahankan, Nuh berdoa kepada Tuhannya agar
menimpakan kutukan kepada kaumnya yang kafir dan menolak beriman kepada
Tuhannya. Doa Nuh dikabulkan dan diwahyukan kepadanya bahwa tidak seorang pun
akan selamat, kecuali orang-orang yang mengikutinya dan menyuruh Nuh agar tidak
merasa sedih dengan pendustaan orang-orang kafir terhadapnya karena Dia akan
menenggelamkan mereka semua. Lalu Tuhannya memerintahkan Nuh membuat kapal dan
memberitahukan kepadanya bahwa dirinya akan dijaga dan dipelihara serta dilarangnya
untuk mendoakan orang-orang kafir dengan keselamatan selama mereka tetap berada
dalam kekafiran.
Atau ketika Sodom dan Gomorah
ditelan ke dalam bumi. Dikarenakan oleh dosa-dosa besar seksual yang tak
terampuni, yang menjatuhkan mereka ke dalam kemusnahan akibat murka Tuhan kepada
penduduk Sodom dan Gomorah. Penduduk Sodom dan Gomorah dihujani dengan hujan
belerang dan api dari atas. Lalu dijungkirbalikkan kota-kota itu dan penduduk
kota-kota serta tumbuh-tumbuhan yang ada di dalamnya. Selamanya mereka terkubur
di dalam bumi. Wabahnya. Begitu pula manusianya.”
“Kita benar-benar sedang
menghadapinya, Lup. Hukuman Tuhan tepat di mata kita. Penyebarannya cepat dan
tak ada obatnya. Penambahan penderita baru di atas 1000 per minggunya dan
penambahan jumlah meninggal di atas 100 per minggunya. Seperti kisah-kisah
musnahnya peradaban. Kisah peradaban manusia sekarang sedang menyusul cerita
Dinosaurus yang musnah 65 juta tahun yang lalu.”
“Tidak mungkin, Jo. Tidak semudah
itu kita punah,” sela yang satunya tiba-tiba.
“Apa maksudmu?”
“Lihatlah… aku masih punya masker
selampek ini yang akan menyelamatkan
paru-paruku dari Pneumonia Wuhan ini.”
Mereka berdua tertawa…
***
Sudah menjadi kebiasaan
orang-orang di desa P kota P propinsi P apabila ada masalah akan bertanya
kepada seorang Kiai. Kiai bukan hanya dipandang sebagai guru agama, tetapi juga
alternative pengobatan, bahkan sampai konsultasi permasalahan suami-istri.
“Jadi harusnya kami ini bagaimana
Pak Kiai? Tadinya kami pikir pageblug ini hanya ada di negoro Chino. Lah jebul nular sampai Amerika, kan jauh itu Pak
Kiai?” tanya salah satu orang yang hadir.
“Saya saja sampai ndak bisa lihat Liga Enggres, Liga Italy, Liga Spanyol…”
timpal yang lainnya.
Pak Kiai berdehem di balik masker
merek Sensi yang masih sempat
dibelinya sebelum dinyatakan langka dan maharnya jadi selangit. Lalu beliau
melanjutkan:
“Terus terang saya sendiri tidak
mengerti masalah Corona ini. Kalau kalian tanya halal-haram saya lebih mafhum.
Tapi kok kalian tanyanya bab yang
saya tidak mengerti. Tapi karena kalian sudah terlanjur datang ke sini dan
pastinya tidak mau pulang dengan tangan kosong, maka saya akan bercerita saja.”
Maka mulailah Pak Kiai bercerita.
“Andaikan saya disuruh jadi tokoh
wayang, maka tentunya saya akan memilih menjadi Batara Kresna. Karena dia
memiliki senjata sakti yang bernama Kaca Lopian. Dari situ saya bisa melihat
kalau si A terkena virus, si B harus segera ditolong, atau si C sehat-sehat
saja. Tapi kok sayangnya saya tidak punya kaca Lopian. Dan alat yang bisa
seperti kaca Lopian itu kok belum diciptakan.
Maka akhirnya saya lebih memilih
menggunakan akal saya saja. Dalam cerita-cerita mitos yang menceritakan
pageblug selalu dimulai dari motif. Nyai Calonarang motifnya dendam karena
anaknya menjadi perawan tua. Wabah Anthrax motifnya adalah untuk menang perang.
Begitu juga virus Ebola tujuannya untuk perang di Afrika. Tapi Corona ini
motifnya apa? Belum ada yang membuka tabir mengenai motif sampai saat ini.
Ibarat Empu Baradah hendak menang perang melawan Nyai Calonarang, beliau
mengutus Empu Bahula terlebih dahulu untuk pura-pura menikahi Ratna Manggali
lalu mencuri buku sihir Nyai Calonarang.
Siapa yang mampu mencuri buku
sihir Covid-19 sekarang ini? Supaya bisa membuat ramuan penangkal pageblug yang
melanda seluruh dunia. Pendiri Microsoft pernah melakukan penelitian dan
katanya meskipun teknologi telah maju tapi ternyata tidak membawa perubahan
terhadap sikap manusia dalam menghadapi wabah apabila terjadi. Dan apabila
wabah global benar-benar terjadi maka kemungkinan bisa menelan korban global
hingga 30 juta jiwa dalam 6 bulan. Hidup manusia benar-benar berada dalam
putaran lotere. Percaya tidak percaya, tetangga dekat rumah kita sudah menjadi
korban. Sudah bukan berita katanya-katanya, jare-jare,
lagi. Wabah sudah berada di depan mata.”
Yang hadir mulai ketar-ketir dan
keringat dingin.
“Ya jangan terus kayak orang
tidak punya agama gitu…” sindir Pak
Kiai ke orang yang wajahnya mulai pucat.
“Pokoknya ikuti saja instruksi
pemerintah. Apabila pemerintah di mana kalian berada menganjurkan agar massa
tidak berkumpul, bahkan melarang berkumpulnya massa, harus diartikan sebagai
upaya mereka untuk menjalankan tanggung jawab memelihara kemashlahatan dan
keamanan warganya.
Seluruh jamaah wajib
menghormatinya dan mendukung pelaksanaan rasa aman publik. Sambil tetap
melaksanakan ibadah di tempat tinggalnya masing-masing.”
“Kalau biasanya Romadhon menyuruh
kita untuk berjarak dengan dunia sejenak, maka seharusnya kita tidak asing lagi
dengan urusan berjarak. Mungkin kali ini harus lebih berjarak dengan dunia
selama Romadhon. Ngaji Qurannya lebih temen.
Tarowehnya lebih temen. Banyak berdoa
upaya dijauhkan dari bala dan mara bahaya.
Karena doanya kita dengan Tuhan
bisa lebih intens. Kalau doanya kepada manusia masih banyak kepentingannya, ada
pikiran bisnis, pikiran politik ataupun investasi asing. Anggap kita sedang
mengistirahatkan hidup untuk dunia, sejenak menggantinya dengan intensitas
kepada Tuhan. Tentunya ini bukan langkah pasif. Karena kalaupun gagal, Tuhan
pasti mempertimbangkan ikhtiar kita. Semuanya hanya ikhtiar.”
"Tiada suatu bencana pun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah." (al-Hadiid: 22)
Pak Kiai menutup ceritanya. Lalu
membuat coretan kecil di kertas putih di hadapannya:
Diam adalah bergerak, bergerak adalah diam. Panta Rei. Heraclitus.
Yunani.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar