Senin, 01 Agustus 2016

"TEKLEK" SYEH ABDUL QODIR JAELANI DI SEKOLAH ARAB

Masa kecil kami sangat sederhana. Kami hanya pergi ke dua sekolah. Pagi hari kami pergi ke sekolah SD Negeri, yang sering kami sebut Sekolah Jawa. Dan di sore hari kami pergi ke sekolah madrasah ibtidaiyah, yang sering kami sebut Sekolah Arab. Tidak ada kursus ataupun les lainnya yang harus kami hadiri. Satu-satunya yang wajib kami hadiri selain kedua sekolah itu adalah 'ngaji' di surau di bawah bimbingan Pak Ustadz setiap habis subuh. Sungguh hidup yang sederhana.


Pada waktu itu seragam SD Negeri belum didefinisikan secara jelas. Yang penting baju atasannya warna putih. Bawahannya, kadang kami memakai warna biru, kadang warna coklat, warna putih, warna apa saja. Yang jelas, bawahan warna merah hati seperti sekarang itu belum ditetapkan.

Untuk sekolah arab, kami pergi dengan sarung dan peci. Baju tentu saja tidak seragam. Mungkin tidak perlu seragam. Bahkan uang SPP-nya kami bayar mingguan, setiap hari kamis, sehingga kami menyebutnya kemisan. Jumlahnya bebas, tidak mengikat. Itupun tak jarang masih ada yang tidak mampu membayar uang kemisan.

Dengan struktur ekonomi nasional yang masih seperti itu, bisa dibayangkan berapa jumlah murid sekolah jawa yang memakai sepatu. Meskipun sepatu termasuk dalam perlengkapan yang wajib dikenakan oleh para siswa, namun hanya segelintir anak orang kaya yang mampu beli sepatu. Sisanya kalau tidak bersandal, tentunya 'nyeker' alias tanpa alas kaki.

Lain halnya dengan sekolah arab, tidak ada kewajiban memakai sepatu di sekolah arab. Namun lucunya tidak ada satu muridpun yang datang tanpa mengenakan alas kaki. Semua muridnya memakai sandal jepit. Tentu saja mereka tidak berani 'nyeker' karena itu akan membawa najis selama perjalanan ke dalam sekolah arab.

Di sinilah pangkal mula cerita Teklek Syeh Abdul Qodir Jaelani berawal. Hampir tidak ada murid yang tidak tahu 'teklek'. Teklek yang sebenarnya adalah alas kaki yang berbentuk seperti sandal, namun terbuat dari kayu sebagian besarnya. Saking dekatnya jawa dengan arab, maka sang Ustadz bercerita tentang 'teklek'.

Diceritakan oleh Ustadz Zaini kala itu, alkisah Syeh Abdul Qodir Jaelani hendak menunaikan sholat. Syeh sudah mengambil air wudhu, lalu bergegas masuk ke dalam masjid. Namun ketika melangkah di undakan masjid, tiba-tiba Syeh menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan mengambil teklek-nya. Dengan sekuat tenaga Syeh melemparkan tekleknya ke angkasa dan tak kembali. Syehpun masuk ke dalam masjid melanjutkan niatnya untuk sholat.

Sepekan kemudian datanglah rombongan pedagang ke rumah Syeh Abdul Qodir Jaelani. Pemimpin pedagang menghadap Syeh sambil menyerahkan kembali teklek Syeh Abdul Qodir Jaelani. Tak henti-hentinya mereka berterima kasih atas bantuan Syeh dengan tekleknya.

Dari ceritanya, ternyata rombongan pedagang waktu itu sedang dibegal oleh para perampok padang pasir. Lalu salah seorang dari mereka berteriak minta tolong menyebut nama Syeh Abdul Qodir Jaelani. Dengan kemampuan ilmu kanuragannya yang tinggi, Syeh mampu mendengar permintaan tolong itu. Serta merta Syeh melemparkan tekleknya guna melumpuhkan aksi para begal.

Sahih tidaknya cerita itu, wallahu a'lam bi showab. Namun dalam benak kami terbayang kedigdayaan Syeh Abdul Qodir Jaelani dengan ilmu dan sholatnya. Sejak saat itu tanpa sadar, aku bertekad menjadi wali seperti Syeh Abdul Qodir Jaelani...@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar