Senin, 11 Juli 2016

HIDUPNYA MAKJU (Bagian 4)

Sejauh yang aku ketahui tentang diri Makju, bukan hanya hidupnya yang sederhana, akan tetapi pikirannya juga sederhana. Hal paling sepele yang masih aku ingat, misalnya ada seorang pengemis datang meminta-minta, menurutnya aku tidak perlu memarahi pengemis atau semacamnya apabila aku sedang tidak ingin memberinya uang. Cukup katakan, "maaf lain kali saja". Tidaklah perlu berkomentar ataupun berkilah panjang-panjang karena itu hanya akan menyakiti hati si pengemis. Meskipun dalam satu hal mungkin kita mencurigai si pengemis hanya seorang pemalas yang mengambil keuntungan dari orang lain. Cukup katakan, "maaf lain kali saja".

Makanya ketika lebaran idul fitri kali ini (1437H) aku sempatkan berkunjung ke bekas rumah Makju, atau lebih tepatnya rumah peninggalan orang tua Makju, untuk sekedar melihat keadaan cucu-cucunya sekarang. Makju adalah dua bersaudara dengan adik lelakinya yang saat ini juga sudah meninggal. Orang tuanya meninggalkan dua bidang tanah dan bangunan. Yang sebidang telah selesai diwaris dan dijual oleh ahli waris adiknya di tahun lalu (baca: Hidupnya Makju bagian 3). Dan masih sebidang lagi yang sekarang ditinggali oleh cucu-cucu Makju. 

Meskipun menyadari bahwa rumah warisan itu masih ada hak keluarga dari adik Makju, namun dalam hati cucu-cucu Makju sebenarnya ingin sekali mempertahankan 'monumen' leluhur itu. Andai saja putri tunggal adik Makju mau melestarikan warisan leluhur, tentu uluran tangannya akan disambut baik oleh cucu-cucu Makju. Namun dalamnya hati siapa yang tahu? Putri tunggal adik Makju hanya ingin memperjelas posisi haknya buat anak-anaknya kelak. Meskipun dalam hati cucu-cucu Makju berpikir sebaliknya. Pastinya putri tunggal adik Makju ingin menjualnya pada suatu ketika nantinya. 

"Ibarat kaum Viking yang gemar menumpuk-numpuk harta karun", ujarnya....@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar