Sabtu, 27 Oktober 2012

LINGKARAN SETAN ANTARA UPAH BURUH DAN INFLASI

Semua pasti masih ingat ketika tanggal 27 Januari 2012 yang lalu ribuan buruh yang bernaung dalam Gerakan Buruh Bekasi berhasil memblokir jalan tol Jakarta-Cikampek yang menimbulkan efek kemacetan hingga pukul 12 malam. Ini adalah puncak gerakan buruh yang menuntut perubahan dalam sistem perburuhan di Indonesia, yaitu: penghapusan sistem outsourcing tenaga kerja dan kebijakan upah murah. Namun rupanya tuntutan mulai berkembang tidak hanya seputar itu saja, bahkan sudah mulai menuntut adanya jaminan kesehatan yang lebih baik bagi buruh. Dan unjuk rasa dengan mengerahkan ribuan buruh selalu menjadi pilihan utama.

Tidak bisa dipungkiri, biaya hidup di negeri ini tidak lagi bisa dibilang murah. Untuk seorang pemulung di Jakarta saja dalam sebulan tidak boleh tidak mengantongi uang di bawah Rp 1 juta. Betapa mengerikannya inflasi negeri ini. Upah buruh yang berkisar antara Rp 1,4 - 1,8 juta bila dikonsumsi tanpa tambahan upah lembur tentu kurang kemana-mana. Seolah-olah orang miskin hanya boleh makan saja, tapi tidak boleh sakit apalagi membeli rumah.

Salah upahnya atau salah yang menuntut terlampau tinggi? Untuk menjawab itu semua sepertinya ada yang terlewat dari pengamatan, yaitu bahwa terdapat korelasi yang kuat antara jumlah belanja penduduk dengan tingkat inflasi apabila tidak diimbangi dengan produksi yang memadai. Gambaran sederhananya begini, ketika buruh menerima penghasilan yang lebih besar, asumsinya belanja mereka akan lebih besar, sehingga uang yang beredar akan lebih besar. Di sisi lain, pengusaha akan menaikkan harga jual dibandingkan dengan menaikkan jumlah produksi karena produksi sifatnya inelastis. Akibatnya sama seperti zero sum game. Upah yang tinggi itu menjadi tidak berdaya.

Sebaliknya harga jual produk yang mahal ini sama sekali tidak akan mendorong ekspor. Tidak ada ekspor berarti tidak ada devisa yang masuk. Tidak ada devisa masuk berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Sekali lagi kejadiannya rupiah hanya berputar-putar di dalam negeri saja dengan jumlah yang lebih besar dari produksi barang dan jasa.

Alhasil semua upaya dan tuntutan hanya berputar-putar dalam lingkaran setan. Kenaikan upah semacam ini hanya berasa dampaknya apabila dilakukan di dalam sebuah tata ekonomi yang stabil tingkat inflasinya. Ditambah lagi sistem pengupahan di Indonesia masih menganut sistem senioritas bukan produktifitas. Beban tenaga kerja masih akan menjadi semi variable cost. Lalu ke mana harus mengadu?

Mestinya semua elemen mulai berpikir untuk mulai mengendalikan laju inflasi ini agar buruh bisa menikmati jerih payah mereka. Dan perlu dipertimbangkan pula untuk mengukur tingkat kenaikan buruh dengan sistem produktifitas agar tidak ada kecemburuan di antara buruh sendiri antara yang bekerja produktif dan tida. Bahkan Cina-pun sudah mulai beralih dari sistem pengupahan senioritas menjadi berbasis produktifitas.@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar