Selasa, 05 November 2013

Cerpen DUA JAM ITU

“Tolong Alif, jangan kauajak aku pergi malam ini,” suaraku terdengar sedikit bergetar. Bukan karena aku kedinginan meskipun hari-hari terakhir ini hujan telah mulai rajin membasahi tanah-tanah dan jalan aspal di kotaku ini. Tapi aku benar-benar takut untuk pergi saat ini. Cuma takut. Itu saja.
Bukan pula aku takut hujan sebab sejak kecilpun aku suka bermain di hari hujan. Bertelanjang dada, berlari-larian bersama teman-teman sebaya, kemudian menuju lapangan rumput bermain bola plastik yang kami beli patungan. Namun lapangan itu sudah tinggal seperempatnya saja karena dipakai untuk bangunan ruko. Apalah mau dikata? Semua orang bilang itu memang kehendak pembangunan yang katanya akan menjadikan orang-orang kami menjadi lebih makmu. Persis seperti nama kota kami “Kota Kemakmuran”.
“Apa kamu takut kehilangan teman-teman kecilmu?” Tanya orang yang sejak tadi duduk di hadapanku ini.
“Bukan. Bukan begitu Alif. Aku cuma……….” Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku tergugu. Begitu kecil nyaliku untuk menolak ajakannya.
Begitupun sejak dua jam yang lalu ketika dia pertama kali datang menemuiku. Tanpa sepengetahuanku tiba-tiba saja dia sudah berada di muka pintu. Senyumnya yang mengembang membuatku serta-merta melompat dari kursi dan mencoba merapikan kertas-kertas yang berserakan di lantai.
“Silahkan sampeyan duduk saja di kursi. Biar aku ambil bangku yang lain.” Aku mencoba bersikap ramah pada orang yang sama sekali belum kukenal. “Maaf kalau boleh tahu, nama sampeyan siapa?”
Orang itu cuma tersenyum kemudian menatap mataku dalam-dalam. Tapi ketika kusebutkan namaku dia malah menjawab “sudah tahu”. Aneh. Aku jadi merasa tak enak. Serba salah. Orang ini matanya tajam sekali, terang bersinar jernih. Rambutnya yang hitam panjang sebahu dan tersisir rapi. Bajunya tampak seadanya. Baju putih dengan potongan longgar dan disertai wangi parfum yang belum pernah kukenal. Lagi-lagi matanya itu seolah-olah selalu mengetahui rahasia yang ada di balik sebuah peristiwa. Terus terang aku jadi merinding.
Rupanya dia tahu kalau aku merasa tidak nyaman dengan tatapan matanya. “Alif,” begitu dia menyebutkan nama. Aku mengernyitkan dahi. Nama itu pernah kudengar sebelumnya tapi aku lupa dimana. Lalu tanpa diminta diapun bercerita panjang lebar perihal dirinya.
Ya. Sekarang aku ingat! Orang inilah yang dulu sering dipergunjingkan teman-teman di kampus. Seorang aktifis mahasiswa yang cukup disegani semasa aktif kuliah dulu, tepatnya lima tahun yang lalu. Waktu itu aku baru saja masuk menjadi mahasiswa baru. Aku sering mendengar namanya, tapi belum pernah sekalipun bertemu muka dengannya. Baru kali ini aku berkesempatan. Beruntungnya aku.
Alif adalah seseorang yang disegani di antara tokoh gerakan mahasiswa. Setiap kali aksi mahasiswa digelar, Aliflah pemimpinnya. Sebagai pemimpin dia mampu membawa teman-temannya ke arah yang mau dicapai. Hanya saja jalan pikiran pribadinya kadang sukar dimengerti orang lain. Semisal, ketika dia meninggalkan bangku kuliah yang hampir selesai dan dibiarkannya skripsinya terbengkelai. Lalu dia memilih pergi ke suatu tempat yang aku sendiri tidak tahu dimana letak persisnya daerah yang baru saja disebutnya itu. Konon katanya, sebuah tempat yang tidak mengenal kemunafikan, sifat serakah, apalagi monopoli.
Semua orang menyesalkannya. Semua merasa kehilangan. Rasanya seperti ada yang hilang di antara mereka. Bagi teman-temannya Alif adalah semangat, motivasi, dan tujuan itu sendiri. Di waktu semua orang kehabisan semangat, Alif membangkitkan mereka. Alif pula yang menghibur mereka di saat letih. Dan penyesalan mereka mencapai puncaknya ketika terdengar kabar kalau Alif meninggal dalam sebuah kecelakaan di sebuah desa kecil di pesisir pulau Jawa.
Sekarang dia datang kemari dan mengajakku pergi bersamanya. Aku tidak habis pikier kenapa dia mesti datang kepadaku? Bagaimana bisa? Jadi tidak benar, kabar yang mengatakan dirinya sudah mati? Setidaknya itulah jawaban Alif kepadaku, tidak benar. Kalaupun kabar mengenai dirinya tidak benar, dari mana dia tahu tentang diriku? Kenapa bukan orang lain saja yang diajaknya pergi bersama? Toh, aku bukan orang yang sehebat dia. Hanya seorang penulis dari sebuah surat kabar mahasiswa yang tidak punya jadwal terbit yang jelas. Bahkan tulisan-tulisanku pun lebih banyak dilepah orang daripada dinikmati.
Diam-diam aku menyesali kedatangannya ke tempatku ini. Aku ingin sekali bisa menolak ajakannya. Ada banyak alas an yang membuatku tidak dapat pergi bersamanya. Tapi lagi-lagi aku tidak berani menolak setiap kali matanya menatapku. Dan selama dua jam itu Alif terus memaksakau ikut bersamanya.
“Bagaimana Pri? Kamu toh tidak takut kehilangan teman-teman kecilmu. Lantas apa lagi yang memberatimu? Percayalah, kamu akan menemukan tempat yang penuh dengan kedamaian. Bukankah itu yang selama ini kalian cari? Bebas dari pemberangusan mahasiswa, judi terselubung, pemiskinan?”
Oalah… Alif. Andai saja aku sanggup menjawabmu. Justru itu yang membuatku belum bisa meninggalkan tempat ini. Masih terlalu banyak keinginan kami di sini. Kami masih harus membuka mata lebar-lebar terhadap ketimpangan social yang ada. Alif tidak tahu, berapa ribu kali lagi kami harus meneriakkan kata demokrasi agar keterbukaan mau singgah di kota kami ini. Bukan dengan cara menghindarinya.
Ah, andai saja Alif mau mengerti betapa kami sudah bosan membuat jalan-jalan di kotaku yang tidak seberapa lebar menjadi macet lantaran demonstrasi yang kami lakukan. Kamipun merasa sudah kehabisan ludah untuk memprotes “Lotre Dana Makmur” yang banyak merusak mental kami, saudara-saudara kami, tetangga-tetangga kami, rakyat kami…..
Aku menggeser letak bangku yang kududuki sedikit ke belakang. Kuselonjorkan kakiku untuk mengurangi kepenatan. Sebatang rokok kretek kunyalakan dan asap putih mengepul pelan-pelan dari mulut dan hidungku. Alif kembali memandangku sembari tersenyum. Dia pasti tahu aku menjadi tidak enak didesak terus-terusan.
“Sudahlah Pri, aku tahu yang membuatmu berat untuk pergi dari sini. Tapi coba kamu pikir-pikir lagi, apa kamu bisa membuat orang-orang itu mau mendengar suara kalian? Terus…sampai kapan tulisan-tulisanmu itu menyadarkan mahasiswa-mahasiswa yang suka kumpul kebo? Apa kamu tidak takut tenaga dan pikiranmu terbuang sia-sia?” sergah Alif.
Takut?! Aku memang takut tidak mampu berbuat banyak untuk orang banyak. Dan aku juga takut menghadapi tatapan mata orang di depanku ini. Tapi aku lebih takut lagi untuk meninggalkan anak-anak muda yang masih mau berpikir untuk orang-orang lemah. Dan aku semakin takut jika kelak tidak sempat menyaksikan keberhasilan usaha mereka selama ini.
“Akupun dulu berpikiran sepertimu. Tapi apa yang kudapat di sini? Kekecewaan. Cuma kekecewaan, Pri! Aku selalu berharap dapat merubah kondisi seperti yang kalian lakukan sekarang. Tapi hukum yang tadinya kukir adil malah menjerat kami, orang yang berusaha memperjuangkan hak-hak orang lemah.”
Betapa sebenarnya aku tergetar untuk mengikutinya. Tapi aku tidak akan pernah bisa pergi bersamanya. Aku benar-benar tidak bisa! Aku malu padanya untuk mengatakan alasanku yang sebenarnya.
Aku tak mungkin menolak ajakannya dengan alasan: “Aku sedang jatuh cinta pada seorang gadis…..”@


Yogyakarta, 15 Nov 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar