“Tolong Alif, jangan kauajak aku pergi malam ini,” suaraku
terdengar sedikit bergetar. Bukan karena aku kedinginan meskipun hari-hari
terakhir ini hujan telah mulai rajin membasahi tanah-tanah dan jalan aspal di
kotaku ini. Tapi aku benar-benar takut untuk pergi saat ini. Cuma takut. Itu saja.
“Apa kamu takut kehilangan teman-teman kecilmu?” Tanya orang
yang sejak tadi duduk di hadapanku ini.
“Bukan. Bukan begitu Alif. Aku cuma……….” Aku tak bisa melanjutkan
kata-kataku. Aku tergugu. Begitu kecil nyaliku untuk menolak ajakannya.
Begitupun sejak dua jam yang lalu ketika dia pertama kali datang
menemuiku. Tanpa sepengetahuanku tiba-tiba saja dia sudah berada di muka pintu.
Senyumnya yang mengembang membuatku serta-merta melompat dari kursi dan mencoba
merapikan kertas-kertas yang berserakan di lantai.
“Silahkan sampeyan duduk saja di kursi. Biar aku ambil
bangku yang lain.” Aku mencoba bersikap ramah pada orang yang sama sekali belum
kukenal. “Maaf kalau boleh tahu, nama sampeyan siapa?”
Orang itu cuma tersenyum kemudian menatap mataku
dalam-dalam. Tapi ketika kusebutkan namaku dia malah menjawab “sudah tahu”. Aneh.
Aku jadi merasa tak enak. Serba salah. Orang ini matanya tajam sekali, terang bersinar
jernih. Rambutnya yang hitam panjang sebahu dan tersisir rapi. Bajunya tampak
seadanya. Baju putih dengan potongan longgar dan disertai wangi parfum yang
belum pernah kukenal. Lagi-lagi matanya itu seolah-olah selalu mengetahui
rahasia yang ada di balik sebuah peristiwa. Terus terang aku jadi merinding.
Rupanya dia tahu kalau aku merasa tidak nyaman dengan
tatapan matanya. “Alif,” begitu dia menyebutkan nama. Aku mengernyitkan dahi. Nama
itu pernah kudengar sebelumnya tapi aku lupa dimana. Lalu tanpa diminta diapun
bercerita panjang lebar perihal dirinya.
Ya. Sekarang aku ingat! Orang inilah yang dulu sering
dipergunjingkan teman-teman di kampus. Seorang aktifis mahasiswa yang cukup
disegani semasa aktif kuliah dulu, tepatnya lima tahun yang lalu. Waktu itu aku
baru saja masuk menjadi mahasiswa baru. Aku sering mendengar namanya, tapi
belum pernah sekalipun bertemu muka dengannya. Baru kali ini aku berkesempatan.
Beruntungnya aku.
Alif adalah seseorang yang disegani di antara tokoh gerakan
mahasiswa. Setiap kali aksi mahasiswa digelar, Aliflah pemimpinnya. Sebagai pemimpin
dia mampu membawa teman-temannya ke arah yang mau dicapai. Hanya saja jalan
pikiran pribadinya kadang sukar dimengerti orang lain. Semisal, ketika dia
meninggalkan bangku kuliah yang hampir selesai dan dibiarkannya skripsinya
terbengkelai. Lalu dia memilih pergi ke suatu tempat yang aku sendiri tidak
tahu dimana letak persisnya daerah yang baru saja disebutnya itu. Konon katanya,
sebuah tempat yang tidak mengenal kemunafikan, sifat serakah, apalagi monopoli.
Semua orang menyesalkannya. Semua merasa kehilangan. Rasanya
seperti ada yang hilang di antara mereka. Bagi teman-temannya Alif adalah
semangat, motivasi, dan tujuan itu sendiri. Di waktu semua orang kehabisan
semangat, Alif membangkitkan mereka. Alif pula yang menghibur mereka di saat
letih. Dan penyesalan mereka mencapai puncaknya ketika terdengar kabar kalau
Alif meninggal dalam sebuah kecelakaan di sebuah desa kecil di pesisir pulau
Jawa.
Sekarang dia datang kemari dan mengajakku pergi bersamanya. Aku
tidak habis pikier kenapa dia mesti datang kepadaku? Bagaimana bisa? Jadi tidak
benar, kabar yang mengatakan dirinya sudah mati? Setidaknya itulah jawaban Alif
kepadaku, tidak benar. Kalaupun kabar mengenai dirinya tidak benar, dari mana
dia tahu tentang diriku? Kenapa bukan orang lain saja yang diajaknya pergi
bersama? Toh, aku bukan orang yang sehebat dia. Hanya seorang penulis dari
sebuah surat kabar mahasiswa yang tidak punya jadwal terbit yang jelas. Bahkan tulisan-tulisanku
pun lebih banyak dilepah orang daripada dinikmati.
Diam-diam aku menyesali kedatangannya ke tempatku ini. Aku ingin
sekali bisa menolak ajakannya. Ada banyak alas an yang membuatku tidak dapat
pergi bersamanya. Tapi lagi-lagi aku tidak berani menolak setiap kali matanya
menatapku. Dan selama dua jam itu Alif terus memaksakau ikut bersamanya.
“Bagaimana Pri? Kamu toh tidak takut kehilangan teman-teman
kecilmu. Lantas apa lagi yang memberatimu? Percayalah, kamu akan menemukan
tempat yang penuh dengan kedamaian. Bukankah itu yang selama ini kalian cari? Bebas
dari pemberangusan mahasiswa, judi terselubung, pemiskinan?”
Oalah… Alif. Andai saja aku sanggup menjawabmu. Justru itu
yang membuatku belum bisa meninggalkan tempat ini. Masih terlalu banyak
keinginan kami di sini. Kami masih harus membuka mata lebar-lebar terhadap
ketimpangan social yang ada. Alif tidak tahu, berapa ribu kali lagi kami harus
meneriakkan kata demokrasi agar keterbukaan mau singgah di kota kami ini. Bukan
dengan cara menghindarinya.
Ah, andai saja Alif mau mengerti betapa kami sudah bosan
membuat jalan-jalan di kotaku yang tidak seberapa lebar menjadi macet lantaran
demonstrasi yang kami lakukan. Kamipun merasa sudah kehabisan ludah untuk
memprotes “Lotre Dana Makmur” yang banyak merusak mental kami, saudara-saudara
kami, tetangga-tetangga kami, rakyat kami…..
Aku menggeser letak bangku yang kududuki sedikit ke
belakang. Kuselonjorkan kakiku untuk mengurangi kepenatan. Sebatang rokok
kretek kunyalakan dan asap putih mengepul pelan-pelan dari mulut dan hidungku.
Alif kembali memandangku sembari tersenyum. Dia pasti tahu aku menjadi tidak
enak didesak terus-terusan.
“Sudahlah Pri, aku tahu yang membuatmu berat untuk pergi
dari sini. Tapi coba kamu pikir-pikir lagi, apa kamu bisa membuat orang-orang
itu mau mendengar suara kalian? Terus…sampai kapan tulisan-tulisanmu itu
menyadarkan mahasiswa-mahasiswa yang suka kumpul kebo? Apa kamu tidak takut
tenaga dan pikiranmu terbuang sia-sia?” sergah Alif.
Takut?! Aku memang takut tidak mampu berbuat banyak untuk
orang banyak. Dan aku juga takut menghadapi tatapan mata orang di depanku ini. Tapi
aku lebih takut lagi untuk meninggalkan anak-anak muda yang masih mau berpikir
untuk orang-orang lemah. Dan aku semakin takut jika kelak tidak sempat
menyaksikan keberhasilan usaha mereka selama ini.
“Akupun dulu berpikiran sepertimu. Tapi apa yang kudapat di
sini? Kekecewaan. Cuma kekecewaan, Pri! Aku selalu berharap dapat merubah
kondisi seperti yang kalian lakukan sekarang. Tapi hukum yang tadinya kukir
adil malah menjerat kami, orang yang berusaha memperjuangkan hak-hak orang
lemah.”
Betapa sebenarnya aku tergetar untuk mengikutinya. Tapi aku
tidak akan pernah bisa pergi bersamanya. Aku benar-benar tidak bisa! Aku malu
padanya untuk mengatakan alasanku yang sebenarnya.
Aku tak mungkin menolak ajakannya dengan alasan: “Aku sedang
jatuh cinta pada seorang gadis…..”@
Yogyakarta, 15 Nov 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar