Selasa, 29 Oktober 2013

PELAJARAN PERTAMA BAGI CALON POLITISI kumpulan cerpen KOMPAS karya Kuntowijoyo

Tahun 2013 ini Kompas kembali membundel kumpulan cerpen karya Kuntowijoyo yang mencapai puncak-puncaknya sepanjang tahun 1995-2000. Hampir setiap tahun Kuntowijoyo menjadi langganan pemenang penghargaan cerpen terbaik dari Kompas. Konon sampai-sampai Kuntowijoyo menolak diberikan penghargaan. Biarlah sekali-sekali orang lain saja yang diberi penghargaan. Tapi tetap saja redaktur Kompas memilih cerpennya sebagai pemenang dari tahun ke tahun. Penghargaan itu baru berhenti ketika Kuntowijoyo telah meninggal dunia.

Entah karena terpesona cerpen-cerpen Kompas minggu waktu itu, atau sekedar latah, saya pun pada masa itu mengkliping cerpen-cerpen dari koran Kompas minggu. Lantas dibundel sendiri dan dikoleksi. Namun sayangnya kebiasaan itu tidak berlanjut setelah tahun 2000an. Banyak di antara cerpen yang saya koleksi adalah cerpen Kuntowijoyo yang dibundel juga dalam buku kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi ini.



Beberapa cerpen yang dibundel di sini antara lain: Laki-laki yang Kawin dengan Peri, Pistol Perdamaian, Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, Rumah yang Terbakar, Jangan Dikubur Sebagai Pahlawan, Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi, dll.

Setidaknya beberapa cerpen itulah yang menginspirasi hidup saya. Gayanya yang literer, penuh dengan muatan lokal, simple, dan sedikit satyre. Ada yang tidak terduga endingnya, namun tak jarang pula, ending ceritanya bisa diduga. Namun yang terpenting ending setiap cerpennya serasa menelanjangi sikap hidup sehari-hari siapapun pembacanya, kalau mengerti kultur budaya Indonesia.

Hampir-hampir Kuntowijoyo tidak mau menggunakan tolok ukur diluar Indonesia untuk menceritakan suatu masalah. Ketika masalah itu berhadapan dengan suatu kaidah keagamaan sekalipun, Kuntowijoyo bisa dengan enak mengkritisi dari budaya lokal, sebut saja Khotbah di Atas Bukit dan Dilarang Mencintai Bunga-bunga. Sudah pendekatannya budaya lokal, tokohnya pun bukan Priyayi. Lebih banyak tokoh-tokoh utamanya adalah orang-orang proletar. Seolah-olah memaknai kesempurnaan hidup adalah ketika tidak berjarak antara manusia sempurna dengan gembel kere. Bungkus bisa saja kere tetapi pemahaman hidup tetap harus tertinggi.

Memaknai buku kecil ini, bagi saya tak ubahnya bernostalgia mengenang berpuluh-puluh tahun lalu yang ketika itu kita semua pernah muda dan berkarya...@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar