Kamis, 07 November 2013

CIMENG

Astaga! Mami tahu perbuatanku. Semalam mami muncul dalam mimpiku. Dia tahu. Dia sudah tahu kelakuanku selama ini. Padahal pulangpun aku tidak pernah. Barangkali ada enam bulan aku tidak pulang ke rumah. Bagaimana mami bisa tahu? Bahkan berkirim suratpun aku tidak pernah juga.
Masih dengan gayanya yang lemah lembut semalam mami berkata,”Mami tahu kamu belum terjerumus, tapi kamu sudah dikelilingi nafsu setan.”
Sudah. Hanya itu. Lalu bayangan mami menghilang seiring senyumnya yang selalu damai untukku.

Ah, andai mami tahu betapa sulitnya hidup seorang diri di negeri orang. Ketika sebuah masalah benar-benar menjadi masalah buatku. Coba andai mami ada di sini, pasti dia tahu semua kesulitan itu.
Mami pasti tidak tahu juga kalau di sini susah buat percaya orang lain. Kami di organisasi sering saling menjegal. Siapa berbuat kesalahan pasti kena bantai oleh yang lainnya. Susah mi. jangan harap orang mau mentolerir kita.
Bukannya aku sedang mengadu atau membela diri, tapi memang begitu keadaannya. Coba bayangkan mi, aku juga butuh teman perempuan seperti yang lain-lainnya. Beberapa waktu lalu ada yang sempat dekat denganku. Tapi pada akhirnya mereka semua lari. Lari! Mereka bilang, mereka butuh cowok bermobil, berbaju bagus, yang pastinya lebih kaya dariku. Kebutuhan mereka itu mungkin serupa aku membutuhkan mereka. Apa boleh buat? Tak mau disayang, ya sudah!
“Kalau dinda minta uang dari abang, abang tidak punya. Tapi kalau dinda minta ide, abang punya seribu ide,” itu kataku dulu pada mereka. Dan setiap kali kubilang begitu, para gadis itu hanya tersenyum manis. Tapi sinis dan rasanya pedih. Namun aku maklum dengan mereka. Hanya saja doaku buat mereka,”Semoga mereka berbahagia dengan lelaki impiannya…”
Mami jangan salahkan aku kalau kemudian timbul keinginan untuk mencari teman sejati. Aku jadi sering keluar malam. Di situlah aku menemukan teman-temanku. Kami bersahabat tanpa pamrih apapun.
Waktu itu Dodot, salah seorang dari kami, mesti menjalani opeasi di rumah sakit. Dodot terkena tusukan di perutnya. Kata dokter dia butuh transfusi darah akibat kehilangan terlalu banyak darah sejak perkelahian malam sebelumnya. Kami berlima sepakat mendonorkan darah kami. Kami ikhlas. Kami tulus membantu sahabat kami itu.
Itu aku alami tiga bulan yang lalu. Kami sudah seperti keluarga. Aku bahagia punya teman di sini. Masalahku adalah masalah mereka juga. Masalah salah satu dari mereka adalah masalahku juga. Tidak ada lagi batas antara kami. Orang-orang menyebut kami ‘geng’. Aku cuma geli mendengarnya. Kami hanyalah satu keluarga.
Suatu kali Ipong baru kembali dari Jakarta. Dia membawa oleh-oleh buat kami banyak sekali. Lebih banyak dari biasanya. Hampir setiap malam kami menikmati bawaan Ipong. Sedikit agak mewah, satu orang dapat jatah satu botol. Biasanya kami meminum satu botol bersama-sama. Bahkan kali ini special, Ipong bilang “asli impor”.
Dan tadi malam itu adalah puncak ketololanku. Mereka menjerumuskanku. Mereka membodohiku. Tapi herannya, kenapa aku sendiri mau melakukannya? Aku baru menyadarinya sekarang. Selama ini aku mabuk, berkelahi, kebut-kebutan bersama mereka, atau sesekali main pelacur murahan di pinggir-pinggir jalan, atau sedikit iseng dengan mahasiswi-mahasiswi yang mau menukar lipstick dengan kenikmatan. Semua itu hanya kesia-siaan. Aku pengecut lari dari kenyataan.
Padahal dulu mami sering bilang,”Kamu jadi laki-laki harus kuat. Harus tegas. Jangan mudah menyerah.”
Lalu mami akan membelai rambutku dan meneruskan,”Kalau kamu tertawa, maka orang lain akan ikut tertawa. Tapi kalau kamu menangis, tidak akan ada orang lain yang mau menemanimu menangis.”
Aku merasa kembali dikejar-kejar rasa bersalah. Aku telah mengecewakan mami. Dan rupanya mami tahu meskipun jarak kami berjauhan satu sama lain.
“Maafkan aku mami. Aku tak akan lagi mengisap cimeng…”@
 
Yogyakarta, 11 Mei 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar