Tiba-tiba saya teringat ketika tsunami
Aceh terjadi tahun 2004 yang lalu. Ketika itu saya masih berteman dengan
Yasuda. Yasuda yang tinggal di Jakarta menerima email dari salah satu rekannya,
Funato. Funato minta Yasuda mengirimkan majalah-majalah di Indonesia yang
meliput berita tentang tsunami Aceh. Terutama majalah-majalah foto. Mungkin
pikirnya satu foto bisa berarti sejuta cerita. Funato yang tinggal di Tokyo,
Jepang, merasa prihatin dengan gempa dan tsunami Aceh. Lalu berdua dengan saya,
Yasuda mulai mengumpulkan satu per satu majalah yang kami temui untuk kemudian
dikirimkan kepada Funato.
Siapa sangka ternyata hari Jumat 11
Maret 2011 lalu justru Jepang sendiri terkena bencana serupa. Tsunami melanda
pulau Honsu dengan kekuatan 8.9 skala richter dari arah timur laut.
Rumah-rumah, mobil, jalanan luluh lantak diterjang air bah setinggi 10 meter.
Beberapa wilayah rusak parah antara lain: Prefektur Sendai, Miyagi, Fukushima,
Ibaraki, Iwate dan Chiba. Kota Tokyo sendiri dikabarkan hanya mengalami
guncangan saja, namun hampir seluruh kota lumpuh karena transportasi yang tidak
beroperasi, takut terjadi kecelakaan. Yasuda sendiri yang tinggal di Shibuya,
Tokyo, belum bisa membalas email saya sampai saat ini.
Entah bagaimana keadaannya saat ini.
Rasanya saya tidak tega membayangkan dirinya yang sudah berumur 60 tahun lebih
masih harus menyaksikan bencana yang tidak kecil. Namun yang menjadikan hati
sedikit lega karena ternyata pemerintah Jepang begitu sigap menangani bencana
ini. Pada hari berikutnya pemerintah sudah mulai mengatur transportasi agar
mulai bisa berjalan, meskipun untuk Shinkansen masih belum dioperasikan. Bahkan
santunan bagi korban tsunami tetap bisa dinikmati oleh para pengungsi meskipun
hari libur sekalipun.
Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat
diraih. Belum lepas sisa-sisa bencana gempa dan tsunami, Jepang sudah
dibayang-bayangi dengan bencana yang lain lagi. Tiga buah reactor nuklir di
Fukushima terancam meledak. Konon reactor I telah meledak, sedang reactor II
sedang diupayakan agar tidak meledak. Namun tak urung reactor III pada hari ini
meledak juga.
Yang menjadi penyebabnya sejauh ini
adalah akibat tidak berfungsinya system pendingin reactor. Berbagai upaya dilakukan
oleh pemerintah Jepang seperti mengalirkan air laut sebagai pendingin, dsb.
Amerika Serikat pun berjanji mengirimkan alat untuk membantu pendinginannya.
Namun apalah daya, sebelum semua
kekacauan itu teratasi ,160 orang telah teridentifikasi terkena radioaktif dari
reactor tersebut. Meskipun menurut JAEA (Japan Atomic Energy Agency) kecelakaan
di reactor Fukushima masih tergolong skala 4 dalam INES (International Nuclear
and Radiological Event Scale), yaitu kecelakaan dengan konsekuensi local (skala
0-7). Bagi saya yang awam, mendengar ada manusia terkena radiasi nuklir serasa
seperti mendengar malaikat mengetuk pintu.
Lalu saya mencoba bertanya pada teman
saya Alexander Agung yang pakarnya di bidang Rekayasa Nuklir. Dan saya
mendapatkan jawaban yang cukup melegakan:
Saya baca dari link-nya mas Tato, dosis
radiasinya sekitar 700 micro sievert per jam ya. Belum jelas di mana lokasi
pengukurannya, tapi saya baca di forum diskusi nuclear safety, itu di boundary
PLTN. Jadi di daerah evakuasi mestinya jauh lebih rendah daripada itu. Mengenai
dosis radiasi ini, batasan yang disarankan untuk publik (bukan pekerja nuklir)
adalah 1000 micro sievert per tahun, dan untuk pekerja nuklir 20000 micro
sievert per tahun. Jika seseorang berada di boundary pada saat itu selama 1
jam, maka dosis yang didapat setara dengan dosis radiasi dari satu kali foto
roentgen.
Sebenarnya
apa yang hendak saya katakan kalaupun saya bisa menghubungi teman-teman saya
itu? Entahlah, paling banter saya akan mengucapkan bela sungkawa atas musibah
yang melanda. Lalu menghibur dengan beberapa kalimat-kalimat yang baik. Tapi
seingat saya Yasuda adalah seorang yang taat beragama Buddha. Pastinya beberapa
doa untuknya akan cukup meringankan bebannya.@
First posting at: Monday, March 14, 2011 6:57 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar