Selasa, 05 Februari 2013

HIDUPNYA MAKJU (Bagian 1)

Satu lagi kisah hidup seorang perempuan yang akrab dipanggil Makju. Mak karena dia seorang perempuan paruh baya. Ju karena nama panjangnya Julaikha. Lebih mudahnya kami sekampung memanggilnya Makju. Bukan karena giginya yang agak maju. Bukan pula karena pemikirannya yang lebih maju dari perempuan lain di kampungnya. Makju menyekolahkan semua cucunya hingga ke universitas. Hanya karena dialah satu-satunya perempuan di kampung itu yang Makju.

Makju dilahirkan di tengah kalangan keluarga santri, namun Makju bukanlah santriwati yang pandai ilmu agama. Makju hanya tahu memasak dan menjual makanannya di warung seberang pasar. Tak ada yang istimewa dari masakannya. Hanya menu makan siang sehari-hari. Pelanggannya pun kebanyakan tukang becak, makelar batik pasar, atau kusir dokar yang mangkal di depan pasar.

Tapi yang patut diacungi jempol adalah hidupnya yang lurus. Dan senyatanya lurus. Dimulai dari pagi hari, Makju sudah mempersiapkan masakannya sejak jam 4:15 sebelum subuh. Tempe diiris pertama kali. Dilanjutkan dengan mencacah gori (nangka muda) untuk dijadikan megono sebagai bumbu makan nasi. Tepat pukul enam, cucunya akan membawa ayam ke tukang potong. Lima belas menit kemudian ayam sudah siap digarangi air panas dan dicabuti bulu-bulunya. Sambil menunggu ayam dipotong-potong oleh anak perempuan satu-satunya, Makju memasukkan daging ke bumbu opor sembari memanasi kuah gulai kerbau andalannya.

Singkat cerita, jam 8:00 semua masakan sudah siap dan satu per satu dibawa anak perempuannya ke warung depan pasar. Seperti biasa sebelum berangkat ke pasar, ada yang harus Makju tunaikan terlebih dahulu. Sholat dhuha. Makju selalu mengawali hari bekerjanya dengan menjaga air wudhu. Barulah dia berangkat ke warung depan pasar lahan penghidupan satu-satunya.

Pukul 13:00 siang hari ketika ramai-ramainya pengunjung warung, cucu-cucunya akan sudah berada di warung sepulang sekolah untuk membantu. Mulai dari mencuci gelas dan piring kotor. Memotong batu es. Mengantarkan gelas minuman ke pelanggan. Menemani pelanggan ngobrol supaya mereka berlama-lama di warung dan menyantap lebih banyak makanan. Pendeknya itulah lingkungannya, itu pulalah pekerjaannya.

Tak satupun dari pelanggan yang tidak menaruh rasa hormat pada Makju meskipun sudah berpuluh tahun Makju hidup menjanda. Makju mudah menangis, tapi tidak mudah menangisi jalan hidupnya. Makju hanya mengisi hidupnya dengan bekerja dan beribadah. Dan ketika jam sudah menunjukkan pukul 14:00 dan pelanggan sudah mulai berkurang, waktunya Makju bersembahyang dhuhur kembali. Dan masih akan sembahyang di pasar sekali lagi di waktu ashar nanti.

Apa yang dilakukannya selepas maghrib nanti? Makju akan mengutus cucunya belanja gula, teh, kopi, dan rokok keperluan warung esok hari. Dan diapun kembali sibuk di dapur meracik bumbu masakan yang akan dipakainya esok subuh. Sesudah bumbu-bumbu siap, akan disimpannya di tempat khusus, barulah Makju menutup kegiatan di rumah bagian belakang dengan sembahyang isya'. Lepas isya' seperti biasa, Makju meluruskan kakinya menonton TVRI dengan siaran ketopraknya atau sinteron di televisi swasta sembari tak henti-henti meneteskan air mata....@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar