Minggu, 14 Oktober 2018

FOTO

Apa yang tersisa dari masa lalu? Tanpa kita sadari semuanya terekam dalam benak kita. Kesadaran yang tiada berangsur-angsur fana, melainkan mengkristal, tersimpan, dan tersembunyi di dalam alam bawah sadar kita.

Ketika pertama kalinya aku mendengar tentang fotografi itu sekitar kelas 1 (satu) SMP. Calon kakak iparku waktu itu bercerita tentang fotografi. Kebetulan dia kuliah di jurusan Jurnalistik yang berurusan dengan berbagai macam teori dan praktek fotografi.



Alangkah terpesonanya aku dengan teori-teori yang dia terangkan. Meskipun sejatinya aku tidak begitu paham, namun imajinasiku bisa ikut terbawa ke dalam kata-katanya. Bahkan beberapa kali aku diajak praktek fotografi di sekitaran Jalan Dipatiukur Bandung. Dia mencoba memotret objek sepeda motor yang bergerak dengan teknik "Panning". Itu loh...foto yang kelihatan pembalapnya saja, sementara background-nya sengaja dibuat blur.

Setelah itu aku jadi lebih perhatian ke foto-foto yang dimuat di koran dan majalah setiap kali aku membacanya. Aku jadi merasa seolah-olah ikut menjadi ahli fotografi meskipun nol praktek. Dengan senangnya aku bisa menunjuk suatu foto sambil berkomentar: "wah...ini dia teknik Bulb-nya kurang bagus" atau "zoomingnya gak dapet nih..." Padahal aslinya belum pernah pegang kamera sekalipun. Alias omong doang.

Di masa kuliah, nasibku sedikit beruntung. Aku mejadi anggota pers mahasiswa tempatku kuliah. Dan kebetulan ada teman yang berbaik hati meminjamkan kamera tua punya ayahnya merk "Pentax". Maka dengan segala keterbatasan dana yang ada, aku belajar menjepret foto dengan kamera sungguhan (bukan pocket). Namun itupun tidak bisa sering-sering karena kamera jaman dulu masih analog. Kamera analog biaya cetak fotonya relatif lebih tinggi dibanding dengan kamera digital. Daripada kita cetak tapi hasilnya jelek, untuk menghemat biaya, kita cetaknya contact print dulu. Baru dipilih mana yang hasilnya bagus. Nanti yang dicetak ukuran 3R yang hasilnya bagus saja. Akhirnya meskipun sudah pegang kamera tapi masih tidak berhasil juga mencoba teknik-teknik fotografi lainnya.

Hingga akhirnya obsesi-obsesi tentang fotografi itu ikut terendam di bawah ingatan seiring usia yang menua. Dan ketika anakku beranjak masuk SMP, dia tertarik bergelut dengan bidang fotografi. Dibelinya kamera DSLR yang cukup mumpuni. Begitu pula dengan aksesoris-aksesoris lainnya yang dibutuhkan. Bahkan dia benar-benar menggunakan teknik manual. Meskipun kamera jaman sekarang bisa saja disetel otomatis semua, tapi  dasar anakku belajar fotografi jadi dipakainya setting full manual.

Lalu memoriku masa SMP ikut tergugah kembali. Tanpa sepengetahuan anakku, diam-diam aku mencolek kamera anakku. Pada saat anakku tidur, aku lihat-lihat menunya. Pada saat anakku sekolah, aku jeprat-jepret sekenanya kesana kemari. Action figur pun ikut jadi sasaran fotoku. Bunga-bunga di pot teras rumah jadi bahan fotoku. Sampai abang-abang dagang kerupuk keliling aku jadikan objek fotoku. Ah...siang-siang terik main foto-fotoan. Bikin keringatku meleleh di dahi dan leher. 

Tanpa aku sadari memori masa SMP-ku ikut meleleh dalam setiap jepretan fotoku ini...@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar