Kamis, 15 Februari 2018

MBAH SUKIR

Siapa nama lengkap Mbah Sukir, aku sama sekali tidak tahu. Bapak hanya menyuruhku memanggilnya Mbah Sukir. Kenapa tidak Eyang Sukir saja? Sebutan 'eyang' akan terdengar lebih ningrat. Lebih berkelas. Aku pun tidak tahu. Yang jelas bapak dan ibuku memanggilnya juga sebagai Mbah Sukir. Apalagi waktu itu usiaku baru 7 tahun, tentunya aku tidak akan sanggup memikirkan nama Mbah Sukir lebih jauh lagi. Lukas Graham saja masih mencari-cari teman di usia 7 tahunnya supaya tidak kesepian.

Dalam setiap tahunnya bapakku terhitung beberapa kali mengunjungi Mbah Sukir. Tempat tinggalnya jauh dari tempat tinggal kami. Mbah Sukir tinggal di kota Temanggung. Salah satu kesenanganku kalau mengunjungi Mbah Sukir adalah rumahnya yang bersih dan sejuk. Gang-gang dan selokan di sekitar rumah Mbah Sukir sangat bersih. Pokoknya layak kalau Temanggung mendapat penghargaan Adipura untuk kebersihan kotanya, sanjung bapak.

Sampai saat ini pun aku masih belum tahu mengapa bapak dan ibuku rajin berkunjung ke rumah Mbah Sukir. Biasanya kami akan menginap. Dan di malam hari mereka akan terlibat pembicaraan yang cukup serius. Dan itu semua di luar pemahamanku. Biasanya aku akan bermain dengan cucu-cucu Mbah Sukir. Aku paling senang bermain dengan cucu-cucu yang berasal dari Pak Tikno, anak mbah yang paling tua. Kadang kami bermain ular tangga, catur, atau domino anak. Bahkan Pak Tikno pernah memberiku kenang-kenangan kaset lagu-lagu instrumentalia klasik. Sejujurnya aku yang minta. Aku bilang aku pernah mendengarnya sewaktu menonton pertunjukan Oriental Sirkus. Lalu serta-merta Pak Tikno mematikan tape-nya dan memberikan kaset itu kepadaku. Betapa girang perasaanku saat itu.

Ada satu lagi sebenarnya anak Mbah Sukir yang aku kenal. Aku memanggilnya Mas Sisu. Mas Sisu paling akrab dengan keluargaku. Tapi aku kurang akrab dengan anak-anaknya. Beberapa kali Mas Sisu tinggal di rumah kami. Sendiri. Sementara anak dan istrinya tetap di Temanggung. Mas Sisu orangnya cepat akrab dengan orang-orang sekitarnya. Hingga hampir-hampir dia dianggap warga asli kampung tempat tinggalku. Hal itu tampak dari foto hitam putih koleksi ibuku. Tampak Mas Sisu berfoto bersama anak-anak muda kampungku jaman itu.

Beda Mas Sisu, beda pula Pak Tikno. Kalau Pak Tikno punya wibawa, pembawaannya kalem, kulitnya bersih, dan tampak sebagai orang terpelajar. Sedangkan Mas Sisu tampak seperti orang kebanyakan saja. Rambutnya ikal gondrong, bercelana cutbray, dengan kulit coklat sawo matang. Mas Sisu tidak lulus kuliah seperti kakaknya. Hingga ketika Mbah Sukir sudah tiada, istri Mas Sisu makin mengandalkan warung pecel dan es gula merahnya buat penopang hidup. Sedangkan Pak Tikno bisa dengan tegas bertindak mengambil alih kewibawaan almarhum.

Suatu ketika aku mendengar bapak berucap dengan nada kecewa. "Pak Tikno ini bagaimana? Tidak semudah itu memberikan saran kepada orang yang perlu pertolongan. Masak segampang itu, orang disuruh mengambil tanah kuburan almarhum Mbah Sukir segenggam, nanti juga sembuh. Ndak bisa begitu..." 

Aku masih juga tidak tahu apa makna ucapan bapakku itu. Tapi yang jelas, setelahnya bapak tidak pernah lagi berkunjung ke Temanggung. Dan karena Mbah sukir sudah tiada, tidak ada lagi perintah-perintah dari ibuku setiap kali kami pamit pulang ke Mbah Sukir, "Sana sungkem sama Mbah Sukir biar kepalamu 'disebul' biar pinter sekolahnya...."@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar