Begini enaknya jadi jamaah Maiyah. Di tengah masa PSBB
akibat pandemic Covid-19 kita semua masih ditemani dan dihibur dengan buku yang
ditulis Mbah Nun dengan judul “Lockdown 309 Tahun”. Buku ini diluncurkan di
tengah masa karantina guna mencegah penyebaran virus yang sangat cepat. Masa
inkubasinya pun terbilang singkat, hanya sekitar 14 hari saja. Dan Indonesia pun
sedang menunggu kebenaran berbagai macam perhitungan matematis yang meramalkan
penyebaran serangan Covid-19 ini. Buku ini terbit ketika orang-orang di
Indonesia berdebar-debar menanti apakah benar kalau nantinya jumlah korban akan
mencapai 20.000 jiwa atau 80.000 jiwa? Apakah benar kalau akhir April’20 adalah
puncak penyebaran pandemic di Indonesia? Ataukah Juni? Atau bahkan September?
Pada akhirnya manusia tidak bisa memastikan. Sedang terhadap
virusnya sendiripun manusia masih belum mendapat kesimpulan yang kongkrit
bagaimana penularannya, apa kelemahannya, mematikan tidaknya, bahkan dari mana
virus ini bermuasal. Semuanya masih serba mungkin. Masih dalam tahap dipelajari
oleh manusia.
Kalaupun misalnya muncul himbauan atau perintah dari
pemerintah suatu daerah di mana kita bertempat sekarang ini untuk tetap tinggal
di rumah, menganjurkan massa tidak berkumpul, bahkan melarang berkumpulnya
massa, tidak semestinya kita berkecil hati. Kita harus mengikutinya. Harus
diartikan sebagai upaya mereka untuk menjalankan tanggung jawab memelihara
kemashlahatan dan keamanan warganya.
Allah menyelamatkan Ashabul Kahfi juga dengan cara
melockdown mereka sampai 309 tahun. Allah menyembunyikan mereka di dalam gua
yang semua orang menyangka itu adalah sarang anjing sehingga tidak ada yang
memasukinya, sebab di mulut gua itu terjuntai dua kaki anjing Qithmir atau
Raqim.
Namun yang menjadi ‘gerundelan’ hati saya, rupanya juga
menjadi pikiran Mbah Nun juga. Pada saat pandemic begini apakah negara hadir? Apakah
negara bergerak cepat mengamankan rakyatnya? Bukan hanya mengamankan supaya
tidak berkumpul dan keluar rumah, tetapi juga mengamankan rakyatnya dari
ancaman krisis ekonomi yang mengancam pasca pandemic. Dan yang terpenting
apakah pada situasi genting seperti ini ada bukti nyata bahwa Tuhan dilibatkan
dalam mengatasi kesulitan-kesulitan itu semua?
Dahulu kala, ketika negara ini sedang mengalami prahara
politik, rajin sekali rakyatnya menggelar istighotsah-istighotsah, meminta
pertolonga Tuhan untuk menyelamatkan negara ini. Apalagi kalua menjelang
pergantian kekuasaan, pihak-pihak yang berkepentingan dengan kursi kekuasaan
akan rajin bersilaturahmi dan juga meminta wirid-wirid dari para ulama, kyai,
dan habib. Namun untuk pageblug Covid-19 yang satu ini serasa Tuhan ditepikan,
sepi. Tidak ada kyai yang mengijazahi doa-doa khusus untuk dibaca supaya segera
turun pertolongan Tuhan.
Saya memohon kepada
Jamaah Maiyah untuk berkenan menghimpun data dan meneliti seberapa banyak Tuhan
ada di alam pikiran semua pihak yang kini sedang suntuk mengantisipasi pandemic
Covid-19. Apakah Tuhan ada dalam perspektif berpikir mereka, disebut dalam
pernyataan-pernyataan mereka, atau disadari bahwa tidak mustahil salah satu
pemeran di balik kasus Corona ini adalah Tuhan sendiri. (Muhasabah Corona, halaman
6).
Oleh karenanya melalui buku Lockdown 309 Tahun ini Mbah Nun
mengajak kita untuk mengendalikan diri kita. Untuk memberi jarak antara diri
kita dengan kehidupan dunia. Agar tidak muncul sikap yang takabur. Karena sangat
tipis batas antara tawakal dengan takabur. Senantiasa Mbah Nun mengajak kita
banyak-banyak beristighfar. Bahkan di dalam suasana karantina Covid-19 ini
tiba-tiba Mbah Nun terngiang-ngiang dengan Sholawat Ashlighid. Semoga kita
semua diselamatkan dari perbuatan orang-orang yang dholim.
Lockdown kita ini diawali dengan kesadaran bahwa Tuhan bisa
saja menjadi penyebab turunnya wabah, karena tiada sesuatu musibah pun yang
menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan, barang siapa yang beriman
kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan, Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Seluruh Jamaah Maiyah wajib mengikuti himbauan untuk melakukan
ikhtiar medis jasadiyah selama 14 hari minimal. Lalu selalu berusaha dalam jiwa
istighfar. Mbah Nun memberikan panduan untuk melakukan wirid setiap habis
sholat fardhu, setiap habis sholat tahajud, maupun setiap langkah kita
senantiasa berdzikir.
Lanjutkan menerima ini semua dengan sabar. Sabar seperti
yang dicontohkan oleh Nabi Ayyub. Atau sabar yang dicontohkan oleh Nabi
Sulaiman. Keduanya sama-sama pernah terkena musibah, dan keduanya bersabar. Sampai
ketika nantinya musibah ini benar-benar telah diangkat Tuhan dari negeri kita,
maka hendaknya juga mengingat Allah. Bukan hasil upaya manusia sendiri, an
sich.
……………….. Seribu kali coronavirus pun, “yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”(An
Nisa) “Qala Rabbuka huwa ‘alayya hayyinun.” Berkata Tuhanmu: yang demikian itu mudah bagi-Ku. Termasuk
membersihkan dunia dari Corona. (Saldo Spiritual Rakyat Indonesia, halaman 236).@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar