Astaga! Mami tahu perbuatanku. Semalam
mami muncul dalam mimpiku. Dia tahu. Dia sudah tahu kelakuanku selama ini. Padahal
pulangpun aku tidak pernah. Barangkali ada enam bulan aku tidak pulang ke
rumah. Bagaimana mami bisa tahu? Bahkan berkirim suratpun aku tidak pernah
juga.
Masih dengan gayanya yang lemah
lembut semalam mami berkata,”Mami tahu kamu belum terjerumus, tapi kamu sudah
dikelilingi nafsu setan.”
Sudah. Hanya itu. Lalu bayangan mami
menghilang seiring senyumnya yang selalu damai untukku.
Ah, andai mami tahu betapa
sulitnya hidup seorang diri di negeri orang. Ketika sebuah masalah benar-benar
menjadi masalah buatku. Coba andai mami ada di sini, pasti dia tahu semua
kesulitan itu.
Mami pasti tidak tahu juga kalau
di sini susah buat percaya orang lain. Kami di organisasi sering saling
menjegal. Siapa berbuat kesalahan pasti kena bantai oleh yang lainnya. Susah mi.
jangan harap orang mau mentolerir kita.
Bukannya aku sedang mengadu atau
membela diri, tapi memang begitu keadaannya. Coba bayangkan mi, aku juga butuh
teman perempuan seperti yang lain-lainnya. Beberapa waktu lalu ada yang sempat
dekat denganku. Tapi pada akhirnya mereka semua lari. Lari! Mereka bilang,
mereka butuh cowok bermobil, berbaju bagus, yang pastinya lebih kaya dariku. Kebutuhan
mereka itu mungkin serupa aku membutuhkan mereka. Apa boleh buat? Tak mau
disayang, ya sudah!
“Kalau dinda minta uang dari
abang, abang tidak punya. Tapi kalau dinda minta ide, abang punya seribu ide,”
itu kataku dulu pada mereka. Dan setiap kali kubilang begitu, para gadis itu
hanya tersenyum manis. Tapi sinis dan rasanya pedih. Namun aku maklum dengan
mereka. Hanya saja doaku buat mereka,”Semoga mereka berbahagia dengan lelaki
impiannya…”
Mami jangan salahkan aku kalau
kemudian timbul keinginan untuk mencari teman sejati. Aku jadi sering keluar
malam. Di situlah aku menemukan teman-temanku. Kami bersahabat tanpa pamrih
apapun.
Waktu itu Dodot, salah seorang
dari kami, mesti menjalani opeasi di rumah sakit. Dodot terkena tusukan di
perutnya. Kata dokter dia butuh transfusi darah akibat kehilangan terlalu banyak
darah sejak perkelahian malam sebelumnya. Kami berlima sepakat mendonorkan
darah kami. Kami ikhlas. Kami tulus membantu sahabat kami itu.
Itu aku alami tiga bulan yang
lalu. Kami sudah seperti keluarga. Aku bahagia punya teman di sini. Masalahku adalah
masalah mereka juga. Masalah salah satu dari mereka adalah masalahku juga. Tidak
ada lagi batas antara kami. Orang-orang menyebut kami ‘geng’. Aku cuma geli
mendengarnya. Kami hanyalah satu keluarga.
Suatu kali Ipong baru kembali
dari Jakarta. Dia membawa oleh-oleh buat kami banyak sekali. Lebih banyak dari
biasanya. Hampir setiap malam kami menikmati bawaan Ipong. Sedikit agak mewah,
satu orang dapat jatah satu botol. Biasanya kami meminum satu botol
bersama-sama. Bahkan kali ini special, Ipong bilang “asli impor”.
Dan tadi malam itu adalah puncak
ketololanku. Mereka menjerumuskanku. Mereka membodohiku. Tapi herannya, kenapa
aku sendiri mau melakukannya? Aku baru menyadarinya sekarang. Selama ini aku
mabuk, berkelahi, kebut-kebutan bersama mereka, atau sesekali main pelacur
murahan di pinggir-pinggir jalan, atau sedikit iseng dengan mahasiswi-mahasiswi
yang mau menukar lipstick dengan kenikmatan. Semua itu hanya kesia-siaan. Aku pengecut
lari dari kenyataan.
Padahal dulu mami sering bilang,”Kamu
jadi laki-laki harus kuat. Harus tegas. Jangan mudah menyerah.”
Lalu mami akan membelai rambutku
dan meneruskan,”Kalau kamu tertawa, maka orang lain akan ikut tertawa. Tapi kalau
kamu menangis, tidak akan ada orang lain yang mau menemanimu menangis.”
Aku merasa kembali dikejar-kejar
rasa bersalah. Aku telah mengecewakan mami. Dan rupanya mami tahu meskipun
jarak kami berjauhan satu sama lain.
“Maafkan aku mami. Aku tak akan
lagi mengisap cimeng…”@
Yogyakarta, 11 Mei 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar