Senin, 21 Oktober 2013

WASRIPIN DAN SATINAH bukan Romeo and Juliet

Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo bukanlah roman Romeo dan Juliet. Tragedi Wasripin dan Satinah bukanlah tragedi Romeo dan Juliet. Wasripin adalah puncak kearifan lokal, sedangkan Satinah adalah kepercayan yang tiada bersyarat. Meskipun hanya berbekal pemikiran yang sederhana, keduanya menemukan kesejatian hidup. Hidup sekedar menjalani alur kehidupan yang seharusnya mereka jalani sembari berusaha menjauhi dunia politik, namun tak urung pada akhirnya politiklah yang menentukan jalan takdir mereka. Memberangus kebebasan mereka. Bahkan pada ujung-ujungnya menentukan hak manusia lain untuk tetap hidup atau harus mati. Orde pemerintah waktu itu memanglah sangat berkuasa.
Wasripin hanyalah seorang pemuda yang tidak pernah mengenal kedua orang tuanya. Yang dia tahu bahwa dia dibesarkan oleh ibu angkatnya di Jakarta. Namun Wasripin merasa ada sesuatu yang salah dengan kehidupan yang dijalaninya bersama ibu angkatnya di Jakarta, maka diputuskannya untuk kembali ke tanah kelahirannya.
 
Tanah kelahirannya adalah sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa. Sebuah desa nelayan yang semestinya memberinya kejelasan tentang asal-usulnya. Alih-alih bertemu dengan leluhurnya, Wasripin malah mendapatkan keajaiban dari Nabi Khidir. Tanpa belajar tiba-tiba Wasripin menjadi manusia yang mendapat hidayah. Tiba-tiba mampu membaca Al Quran. Tiba-tiba mampu memijit orang. Tiba-tiba mampu menyembuhkan penyakit orang.
 
Kedatangannya di desa nelayan dalam waktu singkat disambut hangat oleh kaum nelayan. Kehadirannya dianggap membawa maslahat. Namun rupanya tidak demikian bagi pandangan Ketua Partai Randu yang berkuasa.  Tidak pula demikian bagi pandangan tentara nasional pemerintah kala itu. Setiap yang berpengaruh di masyarakat waktu itu, tidak boleh lebih berpengaruh dari ketua partai, apalagi lebih dari presiden. Konsekuensinya jelas: bisa dengan cara halus atau dengan cara kasar.
 
Tiga orang dukun dikerahkan untuk menyantet Wasripin, namun yang mau disantet malah membantu ketiga dukun santet yang terkena santetnya sendiri yang mental. Justru akhirnya ketiga dukun itu bertobat.
 
Namun lain dukun lain tentara. Ketika kepentingan partai merasa terancam. Wasripin tidak boleh dan jangan sampai menerima gelar kehormatan apapun, maka ketika tidak ada orang lain yang mampu mencegahnya, tentara turun tangan menangkap Wasripin dengan tuduhan sebagai pelaku pemboman disertai barang hukti sejumlah senjata dan bom yang disimpan di kolong tempat tidurnya. Wasripin dibawa ke suatu tempat oleh tentara. Dan nyawa Wasripin pun dieksekusi.
 
Ada yang mati karena penghilangan nyawa secara paksa, ada yang mati karena sukarela karena menguasai ilmu kematian, dan ada pula yang mati karena takdir kematian telah menjemputnya. Pada akhirnya hidup manusia adalah tragedi. Hanya dengan cara apa manusia akan mati, siapa yang tahu?@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar